Jumat, 28 April 2017

Perspektif Teori Komunikasi Organisasi Karl Weick Terhadap Kondisi Birokrasi Indonesia


Pendahuluan

Sejak lama telah bekembang stigma di masyarakat bahwa pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia kinerjanya tidak memuaskan. Tak terhitung banyaknya laporan media massa menyatakan bahwa kinerja pegawai negeri sangat rendah dan menjadi cibiran masyarakat, contohnya adalah banyaknya berita razia PNS bolos kerja oleh Satuan Polisi Pamong Praja, sidak oleh kepala daerah terhadap kehadiran PNS pada hari-hari setelah liburan dan lain sebagainya. Namun anehnya minat masyarakat untuk menjadi pegawai negeri masih sangat tinggi. Hal ini menimbulkan sekilas pertanyaan terhadap masyarakat yang sebagian besar mencibir kinerja pegawai negeri tersebut, apakah mereka mencibir karena kecewa tidak menjadi bagian dari pegawai negeri yang mereka dambakan atau ada motif lainnya.

Di sisi lain pemerintah sebagai pengelola PNS terus berusaha memperbaiki kinerja PNS tersebut. Hal ini dilakukan dengan menggunakan berbagai macam strategi, di antaranya melalui penyusunan peraturan yang semakin jelas dan ketat, menyusun skema ‘reward and punishment’ yang terus diperbaiki, melakukan berbagai macam pelatihan untuk meningkatkan kompetensi mereka dan terus mensosialisasikan semua strategi tersebut kepada sebanyak-banyaknya PNS di seluruh Indonesia melalui berbagai forum sosialisasi dan rapat-rapat. Namun sampai saat ini perkembangan yang dirasakan masih kurang memuaskan bagi masyarakat, terbukti dengan masih tingginya tingkat kekecewaan masyarakat terhadap kinerja birokrat terutama yang langsung berhubungan dengan hajat masyarakat luas seperti pelayanan di kecamatan, kelurahan, pendidikan dan kesehatan, hal ini dapat dilihat dari berbagai berita dan komentar masyarakat di media massa.

Secara teoritis banyak hal yang mungkin menjadi faktor penyebab rendahnya kinerja PNS tersebut. Dalam aspek komunikasi organisasi, rendahnya kinerja juga dapat dihasilkan dari kurang efektifnya komunikasi baik secara internal dan eksternal dalam organisasi birokrasi (Kuswantoro, 2012 dan Simatupang, 2013). Jika kita ambil satu sudut pandang teoritis tentang komunikasi organisasi yang dikemukakan oleh Karl Weick. Yang menyatakan bahwa berorganisasi adalah memproses informasi atau masalah yang timbul di lingkungannya untuk kemudian mencari solusi terhadap informasi atau masalah tersebut. Suatu organisasi dalam hal ini birokrasi akan mengalami pembusukan jika tidak terus dihadapkan pada suatu isu yang progresif/baru, karena organisasi yang tidak dihadapkan pada isu yang menantang/progresif maka organisasi tersebut akan cenderung diam di mana sesuai dengan definisi Weick terhadap organisasi maka organisasi yang diam itu bukan lagi sebuah organisasi.

Poin-poin Penting Pendekatan Komunikasi Organisasi Karl Weick dan Realitanya pada Organisasi Birokrasi

Komunikasi sebagai inti berorganisasi.

Menurut Karl Weick, gambaran tentang perjalanan organisasi secara keseluruhan terlihat seperti perjuangan mahluk hidup untuk dapat bertahan hidup (semua bagian dari organisasi itu terus berkomunikasi dengan aktif untuk menghasilkan sesuatu/mempertahankan eksistensinya). Menurut Weick berorganisasi adalah merubah informasi yang samar menjadi informasi yang dapat dipahami secara jelas dengan menggunakan kata-kata (baik lisan atau tulisan) untuk dijadikan sebagai dasar untuk tindakan selanjutnya. Dan karena berorganisasi adalah usaha untuk mewujudkan “makna”, maka berorganisasi merupakan masalah bahasa, bicara dan komunikasi. Berorganisasi/berkumpul ini cenderung terjadi saat kondisi lingkungan dianggap berbeda dari yang diharapkan atau di saat tidak ada cara yang jelas untuk menghadapi perubahan lingkungan (Sutcliffe, 2005). Cara yang digunakan adalah siklus interaksi ganda (yaitu komunikasi antara organisasi dengan lingkungannya) yang merupakan pembentuk setiap organisasi. Siklus komunikasi ini merupakan salah satu fokus penentu keberhasilan sebuah organisasi.

Realitas pelaksanaan komunikasi di lembaga birokrasi sebenarnya secara formal sudah dibentuk berbagai format untuk memfasilitasi alur komunikasi yang seoptimal mungkin. Di antaranya melalui surat-menyurat, rapat-rapat kordinasi, sosialisasi, bimbingan teknis, brifing dan lain sebagainya yang merupakan bagian dari komunikasi ke bawah (down ward communication). Sedangkan dalam hal komunikasi dari bawahan ke atasan (up ward communication) dalam organisasi birokrasi berupa forum diskusi yang seringkali dilakukaan setelah sesi rapat formal dan analisa staf (Cornelissen, 2011). Namun di berbagai kesempatan dapat dilihat bahwa rapat-rapat atau forum sosialisasi tersebut seringkali tidak dimaknai sebagai suatu hal yang penting, hanya dianggap sebagai acara formalitas untuk menghabiskan anggaran atau memenuhi program kerja yang telah direncanakan.

Dan dalam hal pelaksanaan komunikasi yang efektif ini juga terdapat faktor budaya yang cukup berpengaruh yaitu salah satunya adalah budaya ‘ewuh pakewuh’ yang sedikit banyak akan mengurangi atau mendistorsi intensitas terjadinya komunikasi yang lancar antara semua bagian dalam organisasi tersebut dalam merespon informasi dari lingkungan. Di satu sisi dikarenakan struktur lembaga birokrasi yang dibuat kaku maka komunikasi yang berupa masukan dari bawahan kurang dapat diterima dan dijadikan bahan untuk mencari solusi. Di sisi lain atasan seringkali tidak mampu mengkomunikasikan teguran atau kekecewaan terhadap bawahannya dikarenakan budaya kerja dan sistem kepegawaian yang juga kurang memberikan ruang terhadap adanya komunikasi yang lugas seperti itu.

Tujuan berorganisasi adalah untuk mempertahankan eksistensi organisasi.
Weick juga mengadopsi teori Darwin terhadap organisasi, di mana tujuan utama organisasi adalah untuk eksis melampaui tujuan yang ada dalam AD/ART mereka. Organisasi yang tidak dapat beradaptasi terhadap lingkungan sosio-kulturalnya akan mati, sehingga jika mereka ingin eksis maka mereka perlu beradaptasi. Oleh sebab itu terdapat organisasi yang lebih mampu terus menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan bertahan hidup dibandingkan organisasi lainnya (contohnya persaingan antar sekolah dalam mendapatkan siswa dan timbul tenggelamnya perguruan tinggi swasta). Dan pendorong perubahan di dalam organisasi adalah perubahan perilaku anggotanya (maka yang sangat menentukan dalam kemampuan bertahan hidup sebuah organisasi adalah kemampuan anggotanya untuk merubah perilaku agar sesuai dengan lingkungannya).

Dalam organisasi birokrasi khususnya di Indonesia, pemahaman tujuan beroganisasi untuk mempertahankan eksistensi lembaga tidak terjadi atau sedikit sekali, terdapat suatu pemahaman bahwa setelah menjadi PNS maka apapun yang terjadi dengan lembaga tersebut tidak akan mematikan karir PNS tersebut, contohnya jika suatu lembaga dibubarkan (dimatikan dalam istilah Weick) seperti pada kasus Departemen Penerangan dan Departemen Sosial pada era pemerintahan Gus Dur, maka PNS di dalamnya tidak serta merta juga dipecat atau kehilangan status sebagai PNS. PNS di departemen tersebut hanya akan dipindahkan ke departemen lainnya. Secara tidak langsung hal ini menimbulkan suatu pemikiran pada para PNS bahwa apapun yang terjadi dengan lembaga mereka (eksis atau tidaknya lembaga) tidak menjadi masalah yang mengkhawatirkan bagi mereka para PNS sehingga sebagian besar cenderung berkinerja biasa saja atau sekedar memenuhi standar minimal agar tidak dipecat.

Namun akhir-akhir ini untuk merespon perubahan lingkungan yang semakin cepat terlihat sejumlah upaya untuk merubah perilaku para birokrat dengan dilakukannya sejumlah inovasi di bidang kepegawaian. Contohnya adalah lelang jabatan yang yang dilakukan oleh Pemerintah Jokowi di Jakarta. Dengan diadakannya lelang terbuka atau seleksi terbuka dalam merekrut pejabat maka secara tidak langsung Jokowi mengkomunikasikan kepada bawahannya untuk mempersiapkan diri untuk terus diuji kapasitas dan kompetensinya dan hal ini tentu saja sedikit banyak akan merubah perilaku birokrat di Jakarta yang mungkin dulunya mendapatkan jabatan dengan mendekati pimpinan secara personal, sedangkan sekarang dibutuhkan semuanya, baik kemampuan komunikasi interpersonal dan juga aspek objektif seperti pemahaman, kompetensi dan wawasan.

Menurut Weick, evolusi sosio-kultural lingkungan di sekitar organisasi adalah proses tiga tahap yang dimulai dengan penindakan.

Penindakan - pemilihan interpretasi - penetapan solusi

Penindakan: jangan hanya diam, lakukan sesuatu.
Weick menyatakan bahwa sulit membuat batas yang pasti antara organisasi dengan lingkungan di sekitarnya dan tindakan merupakan ide dasar pembentukan organisasi. Weick yakin bahwa kegagalan melakukan aksi ini adalah penyebab sebagian besar ketidakefektifan suatu organisasi. Manajer gagal adalah yang diam saja.
Beberapa kata nasehat dari Weick yang akan terdengar ‘unik’ bagi pendekatan komunikasi organisasi konvensional:
Bersiap, tembak, bidik.
Bertindak dulu berpikir kemudian.
Bersiap melompat sebelum melihat keadaan.
Ketepatan tidak sepenting semangat.
Tindakan semrawut lebih baik daripada kelambanan/diam yang tertib.
Weick yakin bahwa tindakan adalah prasyarat terjadinya pemahaman, yaitu dengan bertanya, bernegosiasi, membangun pemikiran awal untuk memancing reaksi dan atau menyatakan sesuatu untuk melihat respon yang terjadi. Oleh sebab itulah menurut Weick organisasi yang baik adalah yang lebih sering melakukan pertemuan untuk “menindaklanjuti” berbagai keadaan/informasi yang samar-samar.

Dalam organisasi birokrasi di Indonesia, nasehat-nasehat Weick di atas cukup sulit dilaksanakan. Dapat dikatakan bahwa inisiatif (enactment - dalam istilah Weick) merupakan hal yang tabu dilakukan oleh PNS, karena biasanya dianggap sebagai ancaman bagi pimpinan secara berjenjang (hanya bawahan yang bermental baja saja yang mungkin dapat melakukan inisiatif dan masukan kepada pimpinan). Fenomena tidak adanya inisiatif ini tidak hanya terjadi pada birokrat level bawah saja, namun pejabat birokrat tinggipun tidak akan dapat memberikan alternative tindakan terhadap keputusan atasannya yang mungkin saja salah, hal ini dapat dilihat dengan mengamati kasus korupsi yang biasanya terjadi secara berjamaah contoh yang jelas adalah pada kasus korupsi Hambalang di mana menteri, sekjen, kepala biro, kepala bagian di Kemenpora terlibat yang menunjukkan bahwa kebijakan pimpinan yang salah tidak diberi alternative jalan keluar oleh para bawahannya. Dengan berpusatnya hak inisiatif pada elit organisasi birokrasi maka sebagian besar pegawai dalam lembaga birokrasi dapat dikatakan bersifat pasif atau menunggu perintah. Sehingga muncullah fenomena PNS yang datang-absen-duduk-baca koran-ngobrol-pulang. Walaupun sebenarnya secara formal terdapat nilai inisiatif dalam daftar penilaian kinerja pegawai. Selain itu inisiatif atau aksi pada PNS seringkali tidak dibarengi dengan dukungan secara logistic dan finansial. Seringkali PNS yang berinisiatif melakukan sesuatu maka dia akan melakukannya sendirian tanpa dukungan logistic dan finansial dari pimpinan, dalam istilah lokal dikatakan “yang usul berarti dialah yang mikul pekerjaan tersebut (usul mikul – dalam bahasa Jawa)”. Dengan keadaan seperti itu semakin ciutlah keinginan PNS untuk bertindak lebih dari yang diharapkan (beyond expectation). Belum lagi menghadapi batasan aturan dan penganggaran yang kaku namun seringkali subjektif tergantung siapa yang berkuasa, lenyaplah potensi enactment dari para anggota organisasi birokrasi tersebut.

Seleksi/pemilihan interpretasi: proses pemahaman yang bersifat retrospektif

Menurut Weick dasar konsep pemilihan informasi yang bersifat retrospektif adalah bahwa kita tidak dapat menginterpretasi tindakan yang belum kita lakukan. Sehingga kita harus melakukan sesuatu terlebih dahulu untuk kemudian menginterpretasikannya. Perencanaan dilakukan setelah melakukan penindakan.

Kesamaran informasi - penindakan - penetapan/pemilihan interpretasi

Terdapat dua instrumen organisasional yang dapat membantu pemilihan interpretasi, yaitu aturan-aturan (budaya korporat atau organisasi) dan siklus komunikasi (yaitu siklus tindakan–respon–penyesuaian). Namun aturan-aturan (budaya organisasi) ini kurang memuaskan dalam menghadapi situasi yang multi dimensi. Weick menyatakan bahwa aturan dapat diaplikasikan jika kesamarannya rendah. Namun apabila terlalu banyak interpretasi yang saling berlawanan maka aturan cenderung gagal memperjelas keadaan. Sehingga Weick lebih menekankan metode siklus aksi/tindakan–respon–penyesuaian (komunikasi intensif). Hal ini dapat dilakukan melalui wawancara, pertemuan, brifing terbuka, konferensi, telepon, diskusi, emails, pertemuan makan siang atau sekedar mengobrol.  Weick mengatakan bahwa semakin samar sebuah informasi yang harus diproses oleh organisasi, maka semakin banyak diperlukan siklus komunikasi (pertemuan) untuk mengurangi kebingungan sampai pada batas yang dapat diterima.

Dalam hal pemilihan interpretasi atas tindakan organisasional yang telah dilakukan, organisasi birokrasi relatif melakukannya dengan menggunakan dasar aturan-aturan atau budaya organisasi (kultur instansi). Walaupun proses pemilihan interpretasi ini juga masih terbatas terhadap para elit organisasi (pimpinan). Sehingga yang tercakup di dalamnya tentu saja tidak mencakup aspirasi dari keseluruhan anggota organisasi tersebut. dan seperti yang dinyatakan oleh Weick, penggunaan aturan ini tidak memuaskan dalam mengatasi masalah di lingkungan sekitar organisasi tersebut (dalam hal ini adalah permasalahan yang dihadapi masyarakat sebagai pemangku kepentingan yang utama). Dan sarannya untuk melupakan aturan untuk lebih menitikberatkan pada komunikasi intens yang menghasilkan kesepakatan bersama yang spesifik mengatasi masalah tersebut dapat dikatakan belum dilaksanakan dengan baik oleh organisasi birokrasi. Walaupun usaha untuk bergerak ke arah tersebut terus dikembangkan oleh pemerintah dengan memperkuat Badan Kepegawaian Negara dan membentuk Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi di mana kedua lembaga tersebut terus berusaha meningkatkan intensitas dan kecepatan respon komunikasi antar lembaga dalam rangka merespon perubahan lingkungan.

Dengan semakin tinggi dan cepatnya respon tersebut maka akibatnya adalah peraturan yang disesuaikan juga semakin cepat berubah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Weick bahwa lingkungan yang berubah dengan cepat memerlukan perubahan atau fleksibilitas organisasional yang tinggi pula. Dan hal itu tidak dapat dicapai dengan pembakuan aturan di masa lalu namun dengan kecepatan terciptanya kesepahaman yang sama (consensus) sebagai respon terhadap perubahan dan penyesuaian aturan yang cepat pula sesuai dengan kondisi yang berkembang. Pencapaian consensus itu hanya dapat dicapai dengan pola komunikasi yang intens dan efektif.

Penetapan: perlakukan ketetapan masa lalu sebagai gangguan

Weick menyadari bahwa kumpulan data masa lalu menghasilkan stabilitas bagi orang-orang untuk bekerja bersama-sama. Kumpulan data-data masa lalu (catatan berbagai aspek di dalam organisasi itu yang membuatnya mampu bertahan) itulah yang menjadi budaya korporat/organisasi. Namun dia merasa bahwa panduan tertulis organisasi dan kebijakan tertulis adalah pengganti yang terbatas dibandingkan dengan pengalaman dan ingatan anggota organisasi apalagi jika pengetahuan individual dan kolektif para anggota tersebut sangat menonjol. Oleh karena itu Weick lebih menyarankan para pemimpin organisasi untuk terus meninggalkan kebiasaan lama dan terus bersikap kritis agar terus dapat beradaptasi dengan lingkungan yang juga terus berubah, tidak hanya terlalu mengandalkan pada aturan yang bisa jadi tidak aplikatif lagi (Griffin, 2006).

Weick menyatakan umumnya organisasi mengalami kegagalan karena mereka kehilangan fleksibilitas dikarenakan terlalu mengandalkan masa lalunya sehingga tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah. Selain itu Weick juga menyatakan bahwa budaya organisasi tidak sepenting kemampuan dan imajinasi individual serta kolektif yang menonjol di dalam organisasi untuk mendiskusikan dan mencari solusi dalam menghadapi masalah yang datang (Gogan, 2006).

Nasehat Weick dalam masalah aturan-aturan ini memang cukup menyulitkan bagi organisasi birokrasi pemerintahan yang semua tindakannya harus didasarkan pada peraturan yang berlaku. Namun di akhir-akhir ini permasalah tersebut dapat diselesaikan dengan semakin cepatnya peraturan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang muncul. Semakin banyak peraturan kuno yang diuji ulang untuk kemudian direvisi untuk menyesuaikan diri dengan kondisi terkini lingkungan di sekitar organisasi tersebut. contohnya adalah perubahan aturan tentang kepegawaian yang semakin responsif, penyusunan aturan baru yang merespon fenomena masyarakat yang baru seperti UU ITE, pencucian uang dan peraturan-peraturan lainnya. Namun sampai saat ini dapat dikatakan bahwa kemampuan organisasi khususnya birokrasi dan pemerintahan dalam merespon perubahan lingkungan relatif masih tergopoh-gopoh dan kesulitan mengejar perubahan dunia yang sangat cepat, contohnya pada kasus kontroversi transportasi berbasis aplikasi seperti taksi on line dan juga ojek on line. Dalam kasus tersebut terlihat pemerintah tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi sehingga menimbulkan kebingungan dan konflik di masyarakat.

Kesimpulan

Dari paparan di atas terlihat bahwa dari sudut pandang Weick dalam hal organisasi sebagai pemroses informasi atau masalah dari lingkungannya, organisasi birokrasi di Indonesia masih belum sesuai dengan harapan yang divisikan oleh Weick tentang suatu organisasi yang baik. Organisasi birokrasi di Indonesia masih bergerak dengan lambat dalam merespon perubahan lingkungan di sekitarnya. Komunikasi yang terjadi di dalam organisasi birokrasi masih mengalami hambatan baik secara sistem dan juga budaya, sehingga diperlukan suatu perubahan yang sistemik untuk dapat meningkatkan efektifitas komunikasi dalam organisasi birokrasi yang pada akhirnya akan menghasilkan kinerja yang membaik pula. Selain itu birokrasi juga masih sangat mengandalkan aturan-aturan masa lalu yang menurut Weick tidak cukup membantu menyelesaikan masalah jika dibandingkan dengan kemampuan anggota-anggota organisasi dalam mendiskusikan pilihan solusi yang mutakhir (up to date - kekinian). Namun dalam perkembangannya akhir-akhir ini muncul sejumlah usaha untuk mereformasi birokrasi di Indonesia melalui penguatan komunikasi organisasi birokrasi dan menurut saya perubahan ini semakin sesuai dengan visi organisasi menurut Weick yaitu bahwa organisasi adalah proses yang hidup dan cepat sesuai dengan lingkungannya yang juga berubah dengan cepat, sehingga tidak dapat mengandalkan pada aturan kuno yang kaku namun lebih kepada diskusi yang intens di antara anggota organisasi tersebut dalam merespon masalah yang ada.

Penulis: Rahmat Purwono

Daftar Pustaka
Cornelissen, J. (2011). Corporate Communication: A Guide to Theory and Practice (3th    edition ed.). London: Sage Publication.
Gogan, J. L. (2006). Commentary on Karl Weick’s The Roles of Imagination in the           Organizing of Knowledge. European Journal of Information Systems , 15, 453-456.
Griffin, E. (. (2006). A First Look at Communication Theory (6th edition ed.). Boston:      McGrawHill.
Kuswantoro, S. (2012). Pengaruh Kepemimpinan, Komunikasi, Reward dan Motivasi       Terhadap Kinerja Pegawai Dinas Pendidikan Kabupaten Tulungagung. Otonomi , 12    (3), 93-103.
Simatupang, T. (2013). Analisis Pengaruh Kepemimpinan dan Komunikasi Terhadap Kinerja        Pegawai. EconoSains , 11 (1), 87.
Sutcliffe, K. E. (2005). Organizing and the Process of Sensemaking. Organization Science ,          16 (4), 409-421.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar