Senin, 01 Mei 2017

Diplomasi Publik dan Posisi Pemerintah Indonesia di Dalamnya



Diplomasi publik sebagai bagian dari aktifitas politik internasional suatu negara merupakan salah satu aspek penting bagi keberhasilan lobi politik internasional pemerintah atau negara Indonesia. Jika pemerintah hanya mengandalkan diplomasi formal antar departemen luar negeri atau antar institusi formal negara maka proses lobi tersebut akan sangat bersifat politis dan formal serta kurang mengakomodir berbagai sentimen publik yang sebenarnya mungkin saja sangat berpengaruh terhadap keputusan negara lain dalam menentukan langkah politik yang berpengaruh bagi kepentingan nasional kita. Contoh yang paling signifikan dalam kasus ini adalah pada saat proses dimasukkannya Timor Leste sebagai bagian dari negara Indonesia. Dalam proses tersebut pemerintah yang otoriter cenderung hanya mengandalkan kesepakatan politik internasional antar pemerintahan dengan negara adikuasa pada masa itu yaitu dukungan dari Amerika Serikat untuk memasukkan Timor Leste sebagai bagian Indonesia dengan sejumlah alasan di antaranya ketakutan bahwa Timor Leste akan menjadi sumber ancaman faham Komunisme bagi kawasan Asia Tenggara dan Australia (Ratican, 2005).

Dalam proses selanjutnya pemerintah Indonesia cenderung bergerak di ranah diplomasi antar lembaga antar negara yang itupun juga terbatas dalam arti tidak intensif dan kurang memperhatikan aspek publik atau diplomasi publik yang bisa jadi menentukan keputusan pemerintah negara lain. Mungkin hal ini dikarenakan sifat pemerintahan Indonesia di masa itu yang otoriter sehingga cenderung meniadakan atau menganggap remeh peran publik dalam mengambil keputusan. Sehingga ketika rezim di negara-negara pendukung “pendudukan” tersebut berubah seperti di Amerika Serikat dan juga penolakan publik Australia terhadap “aksi pendudukan” tersebut, menghasilkan kebijakan pemerintah yang berbeda yang kemudian “mencabut” dukungannya terhadap pendudukan Indonesia terhadap Timor Leste maka pemerintah Indonesia kesulitan untuk melakukan lobi dalam melawan tekanan dari publik internasional. Dalam perjalanannya akhirnya pemerintah Indonesia kehilangan legitimasi terhadap penguasaan Timor Leste dan pada akhirnya melepaskannya padahal sudah begitu banyak yang telah dikorbankan negara Indonesia dan juga sebagian warga Timor Leste yang pro integrasi untuk mewujudkan integrasi tersebut (Ratican, 2005).

Selain itu diplomasi publik juga sangat efektif untuk meningkatkan citra bangsa terhadap publik internasional yang dapat diistilahkan “branding” citra negara ke publik global. Penguasaan perangkat diplomasi publik yang lebih kepada kekuatan budaya dan pendidikan sangat mempengaruhi kualitas kemampuan suatu negara menyampaikan pesan-pesan dan mempengaruhi publik negara lain yang pada akhirnya akan mempengaruhi kebijakan yang diambil pemerintahannya. Kualitas budaya yang tinggi, baik budaya tradisional dan juga budaya populer akan mempermudah suatu negara mengirimkan pesan-pesan kepada negara lain, mempererat hubungan antar publik internasional dan pada akhirnya mempermudah negara tersebut dalam mempengaruhi publik dan keputusan pemerintahannya yang terkait dengan kepentingan nasional negara pengirim pesan. Contoh peningkatan kekuatan baik budaya tradisional dan juga budaya populer yang jauh melampaui perkembangan kekuatan budaya negara lain adalah penyebaran budaya Korea Selatan melalui industri kreatif K-Pop. Industri kreatif Korea Selatan tersebut meliputi film, musik dan pernak-pernik budaya lainnya, industri budaya tersebut mampu menyebar luas bahkan mampu menyaingi atau melampaui budaya pop Jepang dan China (Hong Kong) yang telah mapan sebelumnya dalam penetrasi dan penyebarannya ke seluruh dunia. Penyebaran ini tentu mempengaruhi berbagai aspek dalam politik internasional yang dijalani oleh Korea Selatan sehingga secara langsung semakin banyak publik internasional yang ingin bersimpati, berkunjung ke Korea Selatan dan meningkatkan kunjungan wisata dan pada akhirnya menghasilkan pemasukan finansial yang cukup besar dan secara tidak langsung setidaknya akan semakin mempermudah usaha-usaha politik internasional atau penggalangan opini internasional yang dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan terutama terkait konfliknya dengan Korea Utara (Liang, 2013).

Dalam aspek kekuatan dunia pendidikan, potensi yang dimiliki Australia atau tetangga terdekat kita Singapura dan Malaysia juga cenderung membuat citra negara mereka lebih unggul daripada Indonesia sehingga lebih banyak masyarakat Indonesia yang pergi belajar ke negara-negara tersebut dibandingkan jumlah warga negara-negara tersebut yang memilih lembaga pendidikan tinggi di Indonesia. Fenomena tersebut berkembang baik melalui program beasiswa dan juga dengan biaya masyarakat sendiri sehingga menjadikan posisi publik Indonesia lebih cenderung sebagai publik yang dipengaruhi (publik penerima pesan). Walaupun semakin meningkatnya kualitas pendidikan publik Indonesia melalui program belajar ke pendidikan tinggi unggulan di negara-negara tetangga tersebut juga menghasilkan peningkatan kualitas pendidikan Indonesia, namun kualitas pendidikan Indonesia sampai saat ini belum mampu bersaing atau bahkan menyalip kualitas pendidikan bahkan jika dibandingkan dengan Malaysia. Sehingga dalam dunia pendidikan Indonesia masih belum merupakan pusat rujukan pendidikan bahkan bagi negara-negara di regional Asia Tenggara (Phillip G. Altbach, 2012) sehingga sulit bagi Indonesia untuk mengembangkan diplomasi publik berbasis kekuatan pendidikan tingginya.

Tulisan ini akan memaparkan bagaimana konsep diplomasi publik tersebut dibedakan dari diplomasi tradisional atau diplomasi formal antar lembaga negara dalam politik dan komunikasi internasional. Kemudian dipaparkan sejumlah aspek yang berperan dan penting dalam diplomasi publik dan praktek diplomasi publik yang sejak lama dijalankan oleh pionir diplomasi publik yaitu negara adi kuasa seperti Amerika Serikat serta negara-negara Eropa Barat. Dari paparan tersebut akan diperoleh apa saja alasan, syarat-syarat keberhasilan dan hasil dari pelaksanaan diplomasi publik untuk kemudian dikomparasikan dengan praktek yang telah dijalankan oleh pemerintah Indonesia serta potensi apa saja yang dimiliki oleh pemerintah dan seluruh komponen bangsa untuk meningkatkan peran diplomasi publik sebagai media “branding” dan peningkatan citra bangsa secara keseluruhan.

Menurut Mark McDowell (2008) diplomasi publik merupakan istilah yang mulai berkembang terutama sejak tahun 60-an untuk menggambarkan suatu proses yang pada awalnya berupa ‘menginformasikan dan mempengaruhi publik di luar negeri atau di negara lain’. Konsep ini juga memasukkan ‘berbagai dampak transnasional yang ditimbulkan baik dari aktifitas pemerintah atau lembaga/pihak non pemerintah – yang termasuk di dalamnya adalah budaya populer, fashion, olahraga, berita dan internet’ yang secara langsung atau tidak mendukung kepentingan nasional negara tersebut (kebijakan luar negeri, keamanan nasional, perdagangan, pariwisata dan kepentingan nasional lainnya). Diplomasi publik adalah usaha sistematis dari suatu pemerintah untuk mempengaruhi publik di negara lain tentang suatu isu tertentu, tanpa unsur keterlibatan dan tujuan/niatan sistematis dari pemerintah maka suatu fenomena persepsi publik asing terhadap suatu negara hanyalah merupakan efek samping dari komunikasi internasional (McDowell, 2008).
Sedangkan Peter Van Ham menyatakan bahwa diplomasi publik peran dan posisinya dalam politik internasional telah terus berubah seiring waktu. Dalam hal tujuan, diplomasi publik dirumuskan di antaranya sebagai usaha berkomunikasi secara langsung dengan publik di luar negeri, merubah atau mengarahkan pemerintahan negara lain dengan cara mempengaruhi warganya, atau menciptakan citra yang diinginkan terhadap suatu kebijakan, aksi, sistem politik dan ekonomi dari suatu negara. Dan akhirnya merumuskan elemen kunci diplomasi publik adalah membangun hubungan baik secara pribadi dan instusional serta mengembangkan dialog dengan publik luar negeri terkait dengan nilai-nilai ideal bersama, tidak seperti diplomasi tradisional yang cenderung membahas isu-isu spesifik. Diplomasi publik juga merupakan bagian dari diskursus yang melibatkan komunikasi strategis dan ‘branding’ (Ham, 2003).

Menurut Mark McDowell (2008) dalam pola diplomasi tradisional, pemerintah A berusaha mempengaruhi pemerintah B melalui jalur formal diplomasi seperti perundingan, diskusi dan berbagai pertemuan formal lainnya. Dalam pola diplomasi tradisional ini masyarakat atau publik di antara kedua negara tidak dilibatkan. Sedangkan dalam pola diplomasi publik pada gambar 2 pemerintah A selain mengadakan pendekatan terhadap pemerintah B melalui jalur formal juga melakukan pendekatan terhadap masyarakat B untuk menyampaikan pesan yang dimaksud (bisa jadi berupa pameran atau pengiriman delegasi perdagangan, pertukaran pelajar, pameran budaya dan lain-lain dengan tujuan peningkatan perdagangan, pariwisata, investasi, pendidikan dan imigran) atau pesan-pesan tertentu lainnya terkait nilai-nilai ideologis agar masyarakat B dapat memberikan tekanan kepada pemerintah B untuk menyesuaikan diri dengan pemerintah A. Model diplomasi publik ini contoh awalnya adalah usaha Inggris mempengaruhi publik Amerika Serikat pada Perang Dunia untuk ikut menekan pemerintahnya agar memberikan bantuan militer terhadap Sekutu di Eropa. Selain itu model ini dalam jangka panjang meningkatkan hubungan baik antara dua negara tersebut. Kelemahan model diplomasi publik ini adalah bahwa seringkali gerakan ini dengan mudah dikaitkan dengan propaganda, karena pemerintah terlibat intens dalam menyampaikan pesan ke masyarakat di negara lain.

Pada gambar 3, pola diplomasi publik ini merupakan perbaikan dari pola diplomasi publik sebelumnya yang dianggap berbau propaganda (gambar 2). Dalam diplomasi publik ini menitikberatkan usaha bersama antara pemerintah dan publik (masyarakat sipil) negara A untuk mempengaruhi pemerintah B dan juga mempengaruhi masyarakat B untuk menekan pemerintahnya agar menerima dan terpengaruh oleh pesan yang disampaikan oleh pemerintah A. Usaha-usaha ini seringkali dilakukan melalui berbagai forum non politis seperti festival kesenian dan budaya, pameran seni, tur film dan musik. Selain itu juga melalui berbagai forum diskusi LSM atau pertukaran pelajar dan lain sebagainya. Dalam proses itu bisa saja tidak terlihat ada campur tangan pemerintah, namun forum-forum tersebut merupakan diplomasi publik jika dilakukan dengan kesadaran dan perencanaan menyeluruh oleh pemerintah atau setidaknya diijinkan dan disetujui oleh pemerintah.

Mark McDowell juga menyatakan bahwa diplomasi publik dapat berfungsi dengan baik di antara dua atau lebih negara-negara demokratis karena pesan yang disampaikan tidak akan mendapatkan banyak halangan dan publik yang dipengaruhi dapat memberikan input kepada pemerintahannya tanpa halangan yang berarti pula. Pada negara non demokrasi, diplomasi publik bekerja secara berbeda yaitu seringkali bersifat propaganda dengan secara searah memperkuat kesadaran publik untuk meningkatkan demokratisasi dan pada akhirnya publik melawan pemerintahan otoriter seperti pada kasus di masa Perang Dingin di mana Voice of America menyiarkan pesan-pesan demokratis untuk mendukung dan memperkuat nilai-nilai demokrasi dalam publik negara-negara blok komunis, sehingga pada akhirnya publik dapat berperan serta menggulingkan pemerintah otoriter tersebut. Saat ini usaha-usaha yang sama juga sedang dikembangkan Amerika Serikat untuk mendukung perang mereka melawan teror dengan melakukan pendekatan diplomasi publik terhadap negara-negara berpenduduk Muslim.

Diplomasi publik juga semakin menguat di era globalisasi saat ini dengan semakin majunya teknologi informasi (Information Society), lalu-lintas komunikasi internasional yang semakin marak dan perjalanan antar negara yang semakin mudah. Sehingga pertukaran ide-ide antara pemerintah dan publik dari berbagai negara semakin mudah terjadi. Namun dikarenakan adanya kesenjangan antar negara terkait pertumbuhan ‘masyarakat informasi’ maka diperlukan pemetaan yang lebih rinci untuk menerapkan strategi diplomasi publik yang paling efektif terhadap masing-masing negara. Bagi negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China masalah dalam publik diplomasi adalah begitu banyaknya informasi yang telah diakses oleh publik dunia tentang citra mereka sehingga sedikit saja permasalahan muncul maka akan mempersulit fokus diplomasi publik yang sedang mereka programkan. Sedangkan bagi negara-negara kecil atau belum memiliki reputasi yang luas seperti Bhutan, Brunei atau Kazakhstan, di satu sisi mereka hanya mengelola informasi yang tidak terlalu banyak sehingga dapat fokus menggarap isu tertentu yang akan meningkatkan citra negara bagi publik negara lain yang mereka targetkan namun di sisi lain persepsi yang sudah tercipta di publik negara lain sebelumnya memerlukan usaha re-branding yang luas untuk dapat merubah persepsi tersebut.

Diplomasi publik ini juga berhubungan dengan ‘soft power (SP)’ ala Joseph Nye yaitu usaha-usaha untuk membuat pemerintah negara lain melakukan apa yang kita agendakan tanpa menggunakan kekuatan koersif/paksaan atau bayaran. Sumber-sumber SP ini menurut Robert Nye berasal dari budaya bangsa, nilai dan idealisme yang mereka miliki serta kebijakan yang diambil. Karena diplomasi publik hanya dalam porsi menyebarluaskan budaya bangsa, nilai ideal dan kebijakan, maka diplomasi publik dapat dikatakan merupakan salah satu unsur di bawah diplomasi sebagai bagian dari keseluruhan program-program pemerintahan yang secara utuh menghasilkan ‘soft power’ suatu negara. Maka secara garis besar diplomasi publik merupakan salah satu unsur pendukung ‘soft power’ dari suatu negara dengan fungsi menyebarluaskan budaya dan nilai-nilai ideal suatu negara untuk dipahami secara bersama, menjelaskan kebijakan yang diambil terkait suatu isu internasional dan yang terpenting adalah kordinasi diplomasi publik dengan masyarakat sipil untuk menghasilkan pesan yang kredibel, sehingga pada akhirnya membangun hubungan baik antar warga di negara yang berbeda.

Tujuan diplomasi publik menurut Mark McDowell terbagi menjadi tiga bagian yaitu jangka pendek berupa advokasi isu, jangka menengah meningkatkan hubungan baik dengan elit antar negara dan dalam jangka panjang adalah menjalin hubungan baik dengan publik yang sebenarnya (masyarakat negara lain), sehingga hubungan baik tersebut terjadi secara menyeluruh. Untuk tujuan jangka panjang yaitu membangun hubungan baik antar masyarakat bangsa itulah yang menjadi kesulitan tersendiri bagi praktisi diplomasi publik. Penilaian efektifitas program diplomasi publik akan sulit dihitung secara kuantitatif dikarenakan efeknya yang tidak jelas/langsung dirasakan, padahal setiap program kegiatan pemerintah membutuhkan perhitungan yang jelas untuk mendapatkan alokasi dana pemerintahan yang sangat terbatas. Sehingga seringkali program diplomasi publik yang diutamakan adalah program advokasi isu-isu internasional tertentu yang setidaknya dapat diukur efektifitas keberhasilannya. Walaupun demikian bagi negara-negara besar dengan kondisi ekonomi yang baik mereka tidak hanya melakukan advokasi terkait isu yang berkembang namun juga tetap mengembangkan kegiatan-kegiatan diplomasi publik yang mengarah pada peningkatan hubungan baik antar elit dan juga hubungan baik antar warga negara (publik) terutama dengan negara-negara yang strategis bagi kepentingan nasional mereka.

Menurut pengamatan saya, negara-negara yang mampu melakukan diplomasi publik yang luas adalah negara dengan sumber daya yang telah mencukupi. Contoh utama adalah Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat pada umumnya. Propaganda dan manajemen informasi terhadap publik internasional telah dikembangkan lebih dulu dan lebih maju oleh mereka. Sejak Perang Dunia I dan II, kemudian dilanjutkan dengan era Perang Dingin, utamanya Amerika Serikat selalu memberikan perhatian yang baik terhadap diplomasi publik ini dengan membentuk badan-badan khusus terkait penyebaran informasi contohnya Committee on Public Information pada PD I, Office of War Information and the Advertising Council selama PD II, United States Information Agency (USIA) pada era Perang Dingin, bahkan pada tahun 1980-an Reagen membentuk Office of Public Diplomacy untuk mendukung perang Amerika di Amerika Tengah. Sempat terjadi penurunan peran diplomasi publik sejak berakhirnya era Perang Dingin dikarenakan Amerika merasa model bermasyarakat mereka tidak lagi memiliki tantangan ideologis yang serius. Namun dengan terjadinya peristiwa serangan ‘9/11’ di tahun 2001 yang begitu mengejutkan bangsa Amerika, maka selain melakukan aksi balasan secara militer dan politis ke sejumlah target, mereka juga kembali mengaktifkan dan meningkatkan peran diplomasi publik selain sebagai alat ‘perang informasi/propaganda’ sebagai tambahan terhadap tindakan militer untuk mengeliminir ancaman, juga untuk meredakan kesenjangan nilai-nilai ideal dan mencari kesepahaman dengan publik global terutama publik Muslim di dunia (Zaharna, 2010).

Dengan ekonomi yang telah maju mereka mampu membiayai berbagai aspek dalam diplomasi publik terutama di bidang budaya dan pendidikan. Melalui industri budaya populernya, dapat dikatakan hanya sejumlah kecil negara yang tidak terpengaruh dengan idealisme dan nilai-nilai yang dianut oleh negara-negara Barat tersebut. Melalui industri budaya populer tersebut masyarakat di negara-negara lain cenderung mengagumi dan menghormati kemampuan budaya negara-negara Barat sehingga setidaknya tidak antipati terhadap sebagian aspek budaya negara Barat, walaupun dalam hal kebijakan pemerintahan bisa jadi sebagian besar masyarakat sejumlah negara-negara sangat anti terhadap kebijakan negara-negara Barat (Seib, 2009).

Dalam kasus Perang Melawan Teror oleh Amerika Serikat, untuk menetralkan publik Muslim yang mengancam kepentingan nasional Amerika. Mereka melakukan pendekatan dengan memisahkan sebagian besar (silent majority) publik Muslim sebagai publik dengan idealisme yang setidaknya sama dengan idealisme rakyat Amerika (kebebasan, keadilan, demokrasi dan lain sebagainya) dengan kelompok-kelompok atau rejim politik Muslim yang anti Amerika (kelompok ‘jahat/evil’). Terhadap publik silent majority disuguhkan informasi bahwa Amerika merupakan ‘pembebas’ dari rejim yang jahat dan bukan sebagai ‘pasukan pendudukan’. Walaupun dalam praktek khususnya di Irak dan Afganistan, Amerika Serikat tidak atau belum terbukti mampu membebaskan publik mayoritas dari kekacauan akibat Perang Melawan Teror tersebut.

Dalam melakukan diplomasi publik ini juga ditekankan pentingnya peran aktor non negara, atau aktor masyarakat sipil. Berbagai proyek hubungan masyarakat terhadap publik Muslim ini dialihdayakan kepada kelompok-kelompok non pemerintah dengan harapan meningkatkan kredibilitas pesan yang akan disampaikan. Amerika Serikat melibatkan dunia seni dan budaya seperti film dan musik populer, industri TV dan radio, lembaga pendidikan tinggi, internet dan berbagai perusahaan swasta mereka, semuanya digunakan untuk menyampaikan citra dan nilai-nilai ideal rakyat Amerika yang sesungguhnya serupa dengan apa yang diidealkan oleh publik Muslim. Dengan keunggulan budaya dalam hal seni film dan seni musik, film dan musik pop Amerika jelas mudah masuk ke dalam publik Muslim dan setidaknya menetralisir sentimen antipati terhadap Amerika. Pemberian beasiswa-beasiswa pendidikan tinggi terhadap mahasiswa-mahasiswa di negara-negara Muslim juga diharapkan mengurangi sentimen anti Amerika, dan berbagai upaya lainnya (Ham, 2003).

Dengan bombardir informasi dari berbagai sumber yang digunakan oleh Amerika Serikat, mereka diharapkan berhasil melakukan dua hal secara sekaligus. Pertama dengan terus menampilkan citra yang baik tersebut mereka memperkuat ikatan dengan mayoritas publik Muslim yang tidak anti Amerika. Di sisi lain program-program tersebut diharapkan akan melemahkan moral kelompok-kelompok Muslim anti Amerika sehingga daya rusak mereka dapat terus diminimalisir. Melalui media massa Barat, pemerintah Amerika Serikat dan Inggris juga sering melakukan tekanan terhadap media untuk mengurangi kemungkinan media massa digunakan oleh pihak teroris sebagai alat propaganda (penyebaran video dari teroris dan lain sebagainya).

Selain yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat sebagai salah satu kekuatan politik dan ekonomi terkuat di dunia. Diplomasi publik juga dapat dilakukan dalam cakupan yang mungkin tidak bersifat global dan disesuaikan dengan kemampuan politik dan ekonomi yang dimiliki suatu negara. Contohnya seperti yang telah disampaikan pada bagian pendahuluan yaitu diplomasi publik yang dilakukan oleh Korea Selatan dengan menggunakan aspek budaya dan juga kekuatan dunia pendidikannya yang cukup baik. Atau diplomasi publik yang dijalankan oleh Australia terhadap negara-negara Asia dan Pasifik melalui program bantuan pendidikan Ausaid yang menurut saya sangat meningkatkan citra dan posisi Australia bagi negara-negara Asia dan Pasifik. Hasil dari diplomasi publik tersebut secara langsung meningkatkan minat publik internasional untuk berkunjung ke negara tersebut dan menghasilkan pemasukan finansial yang cukup besar di bidang pariwisata. Dalam jangka panjang pertukaran antar publik negara-negara tersebut akan semakin mempererat hubungan publik antar negara dan semakin mempermudah persuasi politis untuk kepentingan nasional negara-negara pengirim pesan terhadap pemerintah negara-negara penerima pesan.

Sedangkan penerapannya di Indonesia, seperti halnya sebagian besar aspek program pembangunan pemerintah lainnya. Pelaksanaan diplomasi publik di Indonesia dapat dikatakan relatif belum digarap dengan baik dengan kata lain masih terbengkalai. Indonesia masih menjadi publik atau sasaran diplomasi publik dari negara lain seperti Amerika Serikat, Australia dan sejumlah negara lainnya. Negara-negara yang saya anggap strategis bagi Indonesia seperti Malaysia, Australia, Singapura, China, Arab Saudi, Jepang dan Amerika Serikat serta negara-negara Eropa Barat lainnya cenderung berperan sebagai pemasok diplomasi publik bagi Indonesia. Jika dilihat dari sejumlah film Hollywood atau film luar[1] yang pernah menyebutkan atau menceritakan negara Indonesia dapat disimpulkan bahwa negara kita dicitrakan sebagai negara dunia ke tiga yang “sangat tidak terjangkau” dengan tingkat sosial jauh di bawah mereka dengan kekacauan politik yang brutal.

Pemerintah dalam menghadapi pencitraan yang menurut saya tidak berimbang tersebut tidak mampu menyajikan informasi yang dapat menyeimbangkan publik dunia atau publik sejumlah negara tertentu yang kita anggap sebagai negara-negara strategis. Dalam menyikapi beredarnya produksi film yang dapat merusak citra bangsa tersebut, pada masa lalu (Orde Baru) pemerintah hanya mampu melakukan pelarangan diputarnya sebagian film-film tersebut di Indonesia. Padahal banyak cara lain yang dapat dilakukan selain pelarangan, seperti produksi film atau konten budaya yang menonjolkan keunggulan budaya dan keindahan negeri, mendorong dan mendukung industri budaya Indonesia untuk dapat maju dan mampu bersaing di level internasional sehingga setidaknya dapat memberikan masukan bagi publik negara-negara tetangga tentang citra Indonesia. Selain itu dalam dunia pendidikan tinggipun sebagai salah satu alat diplomasi publik, Indonesia masih tertinggal bahkan dibandingkan Malaysia, sehingga memang sulit bagi dunia pendidikan tinggi untuk dijadikan salah satu alat untuk meningkatkan citra negara di publik luar. Bahkan dengan posisi Indonesia saat ini sebagai pengirim tenaga kerja buruh dan pembantu ke sejumlah negara seperti Malaysia, Hong Kong, Singapura dan Arab Saudi. Dengan berbagai masalah mismanajemen yang melingkupinya, maka semakin lengkaplah posisi Indonesia sebagai negara dengan citra yang kurang baik bagi publik di negara tersebut. Posisi Indonesia tersebut sesungguhnya sangat membutuhkan terobosan yang progresif untuk dapat segera mengejar ketertinggalan di antaranya melalui penguatan diplomasi publik pemerintah.

Melihat permasalahan citra yang dihadapi Indonesia, sebenarnya potensi untuk menghadapi atau memperbaiki citra tersebut cukuplah banyak. Di bidang budaya, musik dan film karya industri Indonesia seringkali dikatakan lebih maju dari pada sejumlah negara tetangga sehingga dengan dukungan yang baik atau dukungan mediasi kerjasama internasional diharapkan dapat meningkat ke level selanjutnya terutama pada level regional Asia Tenggara dan juga Pasifik. Sedangkan permasalahan TKI pada dasarnya adalah tingkat pendidikan yang masih rendah, manajemen yang tidak jelas dan korupsi sehingga rekrutmen tidak dilakukan dengan profesional, penuh dengan penyelewengan wewenang dan suap-menyuap sehingga menghasilkan rekrutan yang ala kadarnya, human trafficking dan menimbulkan masalah di negara-negara tujuan dengan perlindungan hukum yang lemah. Yang perlu dilakukan pemerintah dalam hal ini adalah perbaikan sistem yang menyeluruh dan penegakan hukum yang tegas sehingga tidak ada lagi TKI illegal yang mempermalukan/merepotkan negara secara keseluruhan.

Potensi bidang kebudayaan, dalam bidang kebudayaan sebenarnya Indonesia memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam dan menarik untuk dapat ditampilkan sebagai daya tarik untuk meningkatkan daya saing dengan negara-negara pengekspor budaya lainnya. Dalam khasanah budaya tradisional Indonesia memiliki kekayaan budaya yang unik dan berkualitas cukup tinggi untuk dapat dipasarkan setidaknya di level kawasan regional dalam rangka meningkatkan kunjungan pariwisata dan juga meningkatkan citra bangsa secara umum apalagi didukung dengan kondisi geografis Indonesia yang beriklim tropis dengan pemandangan alam yang sangat indah. Dalam hal seni tari, musik, lukis dan berbagai bentuk seni tradisional lainnya seperti kekayaan budaya di bidang seni batik, ukir dan seni lainnya, Indonesia memiliki modal keragaman dan kualitas yang lebih dari cukup untuk dapat dikemas dan disebarkan kepada publik negara lain. Kekayaan ini bahkan sering diklaim oleh negara tetangga sebagai kekayaan milik negara mereka. Untuk itu perlu kerja keras pemerintah Indonesia dalam jangka pendek untuk menjaga kekayaan budaya tradisional Indonesia melalui penguatan penerapan hak kekayaan intelektual (HAKI) terhadap produk-produk budaya unggulan. Kemudian dalam jangka menengah dan panjang perlu penguatan dan pelestarian budaya tradisional Indonesia yang unggul untuk kemudian dipasarkan ke publik internasional setidaknya pertama-tama untuk menarik wisatawan dan jangka panjang meningkatkan pemahaman publik internasional terhadap budaya Indonesia.

Dalam bidang budaya populer, potensi ini juga cukup besar apalagi jika dikomparasikan dengan kekuatan-kekuatan regional seperti di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik. Industri musik dan film populer Indonesia sejak awal pertumbuhannya sebenarnya memiliki tempat tersendiri dan baik terutama bagi masyarakat Indonesia sendiri (Marbun, 2014). Hal ini adalah modal yang cukup kuat untuk dikembangkan agar mampu bersaing dalam level regional dan global seperti yang telah dilakukan oleh budaya populer Jepang, China, India, Korea Selatan dan Australia bahkan sekarang oleh industri kreatif dari Thailand yang mulai menguat di level regional. Pemerintah bersama masyarakat sipil penggiat industri kreatif perlu merumuskan strategi yang komprehensif berserta pelaksanaannya secara konkrit terkait penguatan industri kreatif sebagai salah satu aspek dalam budaya yang akan menguatkan diplomasi publik dan juga citra bangsa di publik internasional. Contoh masalah dalam industri kreatif yang sangat mengganggu perkembangannya saat ini adalah masalah HAKI baik pada industri musik dan film yang mengalami gangguan hebat dari aktifitas pembajakan. Selain itu dunia industri seni desain dan karya kreatif lainnya juga rawan plagiarisme sehingga menurunkan motivasi pekerja seni untuk menghasilkan karya yang berkualitas tinggi.

Di bidang pendidikan tinggi, jika dilihat dari indikator peringkat pendidikan tinggi di dunia seperti di berbagai situs peringkat universitas dunia. Terlihat bahwa kondisi pendidikan tinggi Indonesia masih jauh di bawah Australia, Singapura bahkan Malaysia. Peringkat paling tinggi universitas Indonesia adalah di kisaran peringkat 500 sampai 600 dunia, padahal Malaysia mampu meningkatkan kualitas sejumlah universitasnya sampai ke peringkat yang jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Pemerintah dan publik penggiat pendidikan perlu melakukan terobosan yang juga progresif untuk segera meningkatkan kualitas pendidikan tinggi kita untuk dapat setidaknya bersaing atau bahkan menjadi rujukan bagi publik pendidikan internasional setidaknya di kawasan Asia Tenggara.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa diplomasi publik sesungguhnya merupakan bagian penting dari aktifitas komunikasi dan politik internasional suatu negara. Aktifitas politik dan juga ekonomi internasional tidak melulu mengandalkan keberhasilannya pada perhitungan politik dan ekonomi semata, terdapat aspek sentimen-sentimen publik yang juga perlu digarap dengan sebaik-baiknya untuk menghasilkan keluaran program diplomasi yang berhasil. Diplomasi publik tidak hanya penting bagi negara yang sedang menghadapi masalah dengan publik global seperti program demokratisasi global, perang melawan teror dan berbagai program komunikasi global oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Tetapi juga bagi negara-negara seperti Indonesia untuk setidaknya menggarap publik internasional kawasan regional atau publik di negara-negara yang dianggap strategis secara politik dan ekonomi. Hasil dari diplomasi publik yang baik secara langsung akan menghasilkan peningkatan kunjungan wisata dan ikatan perdagangan yang lebih intens sedangkan secara jangka panjang akan meningkatkan kedekatan publik antar negara yang pada akhirnya akan mempermudah proses politik dan komunikasi antar negara.

Pemerintah dan bangsa Indonesia sekali lagi masih cenderung lalai dalam menggarap aspek ini. Hal ini mungkin disebabkan masih belum kuatnya fondasi politik dan ekonomi Indonesia untuk dapat diarahkan pada peningkatan berbagai aspek diplomasi publik atau citra negara seperti penguatan bidang kebudayaan baik tradisional dan juga populer termasuk di dalamnya adalah peningkatan kualitas dunia olahraga, penguatan kualitas pendidikan tinggi dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat secara umum. Namun jika melihat perkembangan di negara lain terutama yang sangat mencolok adalah lompatan yang dilakukan oleh Korea Selatan yang di masa-masa awal kemerdekaannya nyaris sama tingkatannya dengan Indonesia namun dalam perjalanan selanjutnya mampu bersaing dengan negara-negara industri maju di segala bidang bahkan dalam beberapa bidang seperti industri elektronik dan otomotifnya dapat menyalip kekuatan besar seperti Jepang dan Eropa Barat, maka bukan suatu hal yang mustahil bagi bangsa Indonesia untuk melakukan keberhasilan yang sama atau bahkan lebih. Perlu perubahan sikap bangsa dalam menjalani pembangunan dan perlu studi komparasi lebih lanjut untuk memahami bagaimana Korea Selatan mampu berubah dari negara berkembang menjadi negara maju yang sangat disegani di dunia.

Penulis: Rahmat Purwono
Referensi
Asmoro, W. (2013, Mei 13). www.widiasmoro.com/2013/05/13/belanja-lagu-pengguna-itunes. Retrieved Juni 17, 2014, from www.widiasmoro.com.
compusiciannews.com. (2014, Juni 6). compusiciannews.com/mobile/default#/mobile/detail/1191. Retrieved Juni 17, 2014, from compusiciannews.com.
Dunn, S. M. (Director). (2008). Global Metal [Motion Picture].
Ham, P. V. (2003). War, Lies and Videotape: Public Diplomacy and the USA's War on Terrorism. Security Dialogue , 428-444.
Liang, I. C. (2013). Industri Kreatif dan Ekonomi Sosial di Indonesia: Permasalahan dan Usulan Solusi Dalam Menghadapi Tantangan Global. Prosiding The 5th International Conference on Indonesian Studies: "Ethnicity and Globalization" (pp. 304-322). Yogyakarta: ICSSIS.
Marbun, J. (2014, Maret 12). m.republika.co.id/berita/senggang/musik/14/03/12/n2b3x5-menparekraf-industri-musik-berperan-bagi-perekonomian-nasional. Retrieved Juni 17, 2014, from m.republika.co.id.
McDowell, M. (2008). Public Diplomacy at the Crossroads: Definitions and Challenges in an "Open Source" Era. The Fletcher Forum of World Affairs , 7-15.
musikologi.com. (2014, Juni 17). musikologi.com/mengintip-sejarah-industri-rekaman-di-indonesia-bag-1. Retrieved Juni 17, 2014, from musikologi.com.
Oppenheimer, J. (Director). (2012). The Act of Killing [Motion Picture].
Phillip G. Altbach, J. S. (2012). The Road to Academic Excelence; Pendirian Universitas Riset Kelas Dunia. (R. Purwono, Trans.) Jakarta: Salemba Humanika.
Ratican, R. (2005). Pengaruh Kemerdekaan Timor Leste terhadap Hubungan Australia dengan Indonesia. Malang: Australian Consortium for "In Country" Indonesian Study (ACICIS).
Seib, P. (2009). Toward A New Public Diplomacy. New York: Pallgrave Macmillan.
Stone, O. (Director). (2006). Savages [Motion Picture].
Weir, P. (Director). (1982). The Year of Living Dangerously [Motion Picture].
Zaharna, R. S. (2010). Battle to Bridges: US Strategic Communication and Public Diplomacy after 9/11. New York: Pallgrave Macmillan.


[1] Penulis memperhatikan sejumlah film luar yang setidaknya menyebutkan Indonesia cenderung menganggap negara ini sebagai negara terbelakang dengan kondisi sosial politik yang menyedihkan. Contohnya adalah film Savages yang disutradarai Oliver Stone (Stone, 2006), The Act of Killing film dokumenter karya Joshua Oppenheimer tentang keganasan Pemuda Pancasila menghabisi PKI di tahun 60-an (Oppenheimer, 2012), atau film The Year of Living Dangerously yang dibintangi oleh Mel Gibson dan Sigourney Weaver dan sejumlah film lainnya (Weir, 1982).

Jumat, 28 April 2017

Perspektif Teori Komunikasi Organisasi Karl Weick Terhadap Kondisi Birokrasi Indonesia


Pendahuluan

Sejak lama telah bekembang stigma di masyarakat bahwa pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia kinerjanya tidak memuaskan. Tak terhitung banyaknya laporan media massa menyatakan bahwa kinerja pegawai negeri sangat rendah dan menjadi cibiran masyarakat, contohnya adalah banyaknya berita razia PNS bolos kerja oleh Satuan Polisi Pamong Praja, sidak oleh kepala daerah terhadap kehadiran PNS pada hari-hari setelah liburan dan lain sebagainya. Namun anehnya minat masyarakat untuk menjadi pegawai negeri masih sangat tinggi. Hal ini menimbulkan sekilas pertanyaan terhadap masyarakat yang sebagian besar mencibir kinerja pegawai negeri tersebut, apakah mereka mencibir karena kecewa tidak menjadi bagian dari pegawai negeri yang mereka dambakan atau ada motif lainnya.

Di sisi lain pemerintah sebagai pengelola PNS terus berusaha memperbaiki kinerja PNS tersebut. Hal ini dilakukan dengan menggunakan berbagai macam strategi, di antaranya melalui penyusunan peraturan yang semakin jelas dan ketat, menyusun skema ‘reward and punishment’ yang terus diperbaiki, melakukan berbagai macam pelatihan untuk meningkatkan kompetensi mereka dan terus mensosialisasikan semua strategi tersebut kepada sebanyak-banyaknya PNS di seluruh Indonesia melalui berbagai forum sosialisasi dan rapat-rapat. Namun sampai saat ini perkembangan yang dirasakan masih kurang memuaskan bagi masyarakat, terbukti dengan masih tingginya tingkat kekecewaan masyarakat terhadap kinerja birokrat terutama yang langsung berhubungan dengan hajat masyarakat luas seperti pelayanan di kecamatan, kelurahan, pendidikan dan kesehatan, hal ini dapat dilihat dari berbagai berita dan komentar masyarakat di media massa.

Secara teoritis banyak hal yang mungkin menjadi faktor penyebab rendahnya kinerja PNS tersebut. Dalam aspek komunikasi organisasi, rendahnya kinerja juga dapat dihasilkan dari kurang efektifnya komunikasi baik secara internal dan eksternal dalam organisasi birokrasi (Kuswantoro, 2012 dan Simatupang, 2013). Jika kita ambil satu sudut pandang teoritis tentang komunikasi organisasi yang dikemukakan oleh Karl Weick. Yang menyatakan bahwa berorganisasi adalah memproses informasi atau masalah yang timbul di lingkungannya untuk kemudian mencari solusi terhadap informasi atau masalah tersebut. Suatu organisasi dalam hal ini birokrasi akan mengalami pembusukan jika tidak terus dihadapkan pada suatu isu yang progresif/baru, karena organisasi yang tidak dihadapkan pada isu yang menantang/progresif maka organisasi tersebut akan cenderung diam di mana sesuai dengan definisi Weick terhadap organisasi maka organisasi yang diam itu bukan lagi sebuah organisasi.

Poin-poin Penting Pendekatan Komunikasi Organisasi Karl Weick dan Realitanya pada Organisasi Birokrasi

Komunikasi sebagai inti berorganisasi.

Menurut Karl Weick, gambaran tentang perjalanan organisasi secara keseluruhan terlihat seperti perjuangan mahluk hidup untuk dapat bertahan hidup (semua bagian dari organisasi itu terus berkomunikasi dengan aktif untuk menghasilkan sesuatu/mempertahankan eksistensinya). Menurut Weick berorganisasi adalah merubah informasi yang samar menjadi informasi yang dapat dipahami secara jelas dengan menggunakan kata-kata (baik lisan atau tulisan) untuk dijadikan sebagai dasar untuk tindakan selanjutnya. Dan karena berorganisasi adalah usaha untuk mewujudkan “makna”, maka berorganisasi merupakan masalah bahasa, bicara dan komunikasi. Berorganisasi/berkumpul ini cenderung terjadi saat kondisi lingkungan dianggap berbeda dari yang diharapkan atau di saat tidak ada cara yang jelas untuk menghadapi perubahan lingkungan (Sutcliffe, 2005). Cara yang digunakan adalah siklus interaksi ganda (yaitu komunikasi antara organisasi dengan lingkungannya) yang merupakan pembentuk setiap organisasi. Siklus komunikasi ini merupakan salah satu fokus penentu keberhasilan sebuah organisasi.

Realitas pelaksanaan komunikasi di lembaga birokrasi sebenarnya secara formal sudah dibentuk berbagai format untuk memfasilitasi alur komunikasi yang seoptimal mungkin. Di antaranya melalui surat-menyurat, rapat-rapat kordinasi, sosialisasi, bimbingan teknis, brifing dan lain sebagainya yang merupakan bagian dari komunikasi ke bawah (down ward communication). Sedangkan dalam hal komunikasi dari bawahan ke atasan (up ward communication) dalam organisasi birokrasi berupa forum diskusi yang seringkali dilakukaan setelah sesi rapat formal dan analisa staf (Cornelissen, 2011). Namun di berbagai kesempatan dapat dilihat bahwa rapat-rapat atau forum sosialisasi tersebut seringkali tidak dimaknai sebagai suatu hal yang penting, hanya dianggap sebagai acara formalitas untuk menghabiskan anggaran atau memenuhi program kerja yang telah direncanakan.

Dan dalam hal pelaksanaan komunikasi yang efektif ini juga terdapat faktor budaya yang cukup berpengaruh yaitu salah satunya adalah budaya ‘ewuh pakewuh’ yang sedikit banyak akan mengurangi atau mendistorsi intensitas terjadinya komunikasi yang lancar antara semua bagian dalam organisasi tersebut dalam merespon informasi dari lingkungan. Di satu sisi dikarenakan struktur lembaga birokrasi yang dibuat kaku maka komunikasi yang berupa masukan dari bawahan kurang dapat diterima dan dijadikan bahan untuk mencari solusi. Di sisi lain atasan seringkali tidak mampu mengkomunikasikan teguran atau kekecewaan terhadap bawahannya dikarenakan budaya kerja dan sistem kepegawaian yang juga kurang memberikan ruang terhadap adanya komunikasi yang lugas seperti itu.

Tujuan berorganisasi adalah untuk mempertahankan eksistensi organisasi.
Weick juga mengadopsi teori Darwin terhadap organisasi, di mana tujuan utama organisasi adalah untuk eksis melampaui tujuan yang ada dalam AD/ART mereka. Organisasi yang tidak dapat beradaptasi terhadap lingkungan sosio-kulturalnya akan mati, sehingga jika mereka ingin eksis maka mereka perlu beradaptasi. Oleh sebab itu terdapat organisasi yang lebih mampu terus menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan bertahan hidup dibandingkan organisasi lainnya (contohnya persaingan antar sekolah dalam mendapatkan siswa dan timbul tenggelamnya perguruan tinggi swasta). Dan pendorong perubahan di dalam organisasi adalah perubahan perilaku anggotanya (maka yang sangat menentukan dalam kemampuan bertahan hidup sebuah organisasi adalah kemampuan anggotanya untuk merubah perilaku agar sesuai dengan lingkungannya).

Dalam organisasi birokrasi khususnya di Indonesia, pemahaman tujuan beroganisasi untuk mempertahankan eksistensi lembaga tidak terjadi atau sedikit sekali, terdapat suatu pemahaman bahwa setelah menjadi PNS maka apapun yang terjadi dengan lembaga tersebut tidak akan mematikan karir PNS tersebut, contohnya jika suatu lembaga dibubarkan (dimatikan dalam istilah Weick) seperti pada kasus Departemen Penerangan dan Departemen Sosial pada era pemerintahan Gus Dur, maka PNS di dalamnya tidak serta merta juga dipecat atau kehilangan status sebagai PNS. PNS di departemen tersebut hanya akan dipindahkan ke departemen lainnya. Secara tidak langsung hal ini menimbulkan suatu pemikiran pada para PNS bahwa apapun yang terjadi dengan lembaga mereka (eksis atau tidaknya lembaga) tidak menjadi masalah yang mengkhawatirkan bagi mereka para PNS sehingga sebagian besar cenderung berkinerja biasa saja atau sekedar memenuhi standar minimal agar tidak dipecat.

Namun akhir-akhir ini untuk merespon perubahan lingkungan yang semakin cepat terlihat sejumlah upaya untuk merubah perilaku para birokrat dengan dilakukannya sejumlah inovasi di bidang kepegawaian. Contohnya adalah lelang jabatan yang yang dilakukan oleh Pemerintah Jokowi di Jakarta. Dengan diadakannya lelang terbuka atau seleksi terbuka dalam merekrut pejabat maka secara tidak langsung Jokowi mengkomunikasikan kepada bawahannya untuk mempersiapkan diri untuk terus diuji kapasitas dan kompetensinya dan hal ini tentu saja sedikit banyak akan merubah perilaku birokrat di Jakarta yang mungkin dulunya mendapatkan jabatan dengan mendekati pimpinan secara personal, sedangkan sekarang dibutuhkan semuanya, baik kemampuan komunikasi interpersonal dan juga aspek objektif seperti pemahaman, kompetensi dan wawasan.

Menurut Weick, evolusi sosio-kultural lingkungan di sekitar organisasi adalah proses tiga tahap yang dimulai dengan penindakan.

Penindakan - pemilihan interpretasi - penetapan solusi

Penindakan: jangan hanya diam, lakukan sesuatu.
Weick menyatakan bahwa sulit membuat batas yang pasti antara organisasi dengan lingkungan di sekitarnya dan tindakan merupakan ide dasar pembentukan organisasi. Weick yakin bahwa kegagalan melakukan aksi ini adalah penyebab sebagian besar ketidakefektifan suatu organisasi. Manajer gagal adalah yang diam saja.
Beberapa kata nasehat dari Weick yang akan terdengar ‘unik’ bagi pendekatan komunikasi organisasi konvensional:
Bersiap, tembak, bidik.
Bertindak dulu berpikir kemudian.
Bersiap melompat sebelum melihat keadaan.
Ketepatan tidak sepenting semangat.
Tindakan semrawut lebih baik daripada kelambanan/diam yang tertib.
Weick yakin bahwa tindakan adalah prasyarat terjadinya pemahaman, yaitu dengan bertanya, bernegosiasi, membangun pemikiran awal untuk memancing reaksi dan atau menyatakan sesuatu untuk melihat respon yang terjadi. Oleh sebab itulah menurut Weick organisasi yang baik adalah yang lebih sering melakukan pertemuan untuk “menindaklanjuti” berbagai keadaan/informasi yang samar-samar.

Dalam organisasi birokrasi di Indonesia, nasehat-nasehat Weick di atas cukup sulit dilaksanakan. Dapat dikatakan bahwa inisiatif (enactment - dalam istilah Weick) merupakan hal yang tabu dilakukan oleh PNS, karena biasanya dianggap sebagai ancaman bagi pimpinan secara berjenjang (hanya bawahan yang bermental baja saja yang mungkin dapat melakukan inisiatif dan masukan kepada pimpinan). Fenomena tidak adanya inisiatif ini tidak hanya terjadi pada birokrat level bawah saja, namun pejabat birokrat tinggipun tidak akan dapat memberikan alternative tindakan terhadap keputusan atasannya yang mungkin saja salah, hal ini dapat dilihat dengan mengamati kasus korupsi yang biasanya terjadi secara berjamaah contoh yang jelas adalah pada kasus korupsi Hambalang di mana menteri, sekjen, kepala biro, kepala bagian di Kemenpora terlibat yang menunjukkan bahwa kebijakan pimpinan yang salah tidak diberi alternative jalan keluar oleh para bawahannya. Dengan berpusatnya hak inisiatif pada elit organisasi birokrasi maka sebagian besar pegawai dalam lembaga birokrasi dapat dikatakan bersifat pasif atau menunggu perintah. Sehingga muncullah fenomena PNS yang datang-absen-duduk-baca koran-ngobrol-pulang. Walaupun sebenarnya secara formal terdapat nilai inisiatif dalam daftar penilaian kinerja pegawai. Selain itu inisiatif atau aksi pada PNS seringkali tidak dibarengi dengan dukungan secara logistic dan finansial. Seringkali PNS yang berinisiatif melakukan sesuatu maka dia akan melakukannya sendirian tanpa dukungan logistic dan finansial dari pimpinan, dalam istilah lokal dikatakan “yang usul berarti dialah yang mikul pekerjaan tersebut (usul mikul – dalam bahasa Jawa)”. Dengan keadaan seperti itu semakin ciutlah keinginan PNS untuk bertindak lebih dari yang diharapkan (beyond expectation). Belum lagi menghadapi batasan aturan dan penganggaran yang kaku namun seringkali subjektif tergantung siapa yang berkuasa, lenyaplah potensi enactment dari para anggota organisasi birokrasi tersebut.

Seleksi/pemilihan interpretasi: proses pemahaman yang bersifat retrospektif

Menurut Weick dasar konsep pemilihan informasi yang bersifat retrospektif adalah bahwa kita tidak dapat menginterpretasi tindakan yang belum kita lakukan. Sehingga kita harus melakukan sesuatu terlebih dahulu untuk kemudian menginterpretasikannya. Perencanaan dilakukan setelah melakukan penindakan.

Kesamaran informasi - penindakan - penetapan/pemilihan interpretasi

Terdapat dua instrumen organisasional yang dapat membantu pemilihan interpretasi, yaitu aturan-aturan (budaya korporat atau organisasi) dan siklus komunikasi (yaitu siklus tindakan–respon–penyesuaian). Namun aturan-aturan (budaya organisasi) ini kurang memuaskan dalam menghadapi situasi yang multi dimensi. Weick menyatakan bahwa aturan dapat diaplikasikan jika kesamarannya rendah. Namun apabila terlalu banyak interpretasi yang saling berlawanan maka aturan cenderung gagal memperjelas keadaan. Sehingga Weick lebih menekankan metode siklus aksi/tindakan–respon–penyesuaian (komunikasi intensif). Hal ini dapat dilakukan melalui wawancara, pertemuan, brifing terbuka, konferensi, telepon, diskusi, emails, pertemuan makan siang atau sekedar mengobrol.  Weick mengatakan bahwa semakin samar sebuah informasi yang harus diproses oleh organisasi, maka semakin banyak diperlukan siklus komunikasi (pertemuan) untuk mengurangi kebingungan sampai pada batas yang dapat diterima.

Dalam hal pemilihan interpretasi atas tindakan organisasional yang telah dilakukan, organisasi birokrasi relatif melakukannya dengan menggunakan dasar aturan-aturan atau budaya organisasi (kultur instansi). Walaupun proses pemilihan interpretasi ini juga masih terbatas terhadap para elit organisasi (pimpinan). Sehingga yang tercakup di dalamnya tentu saja tidak mencakup aspirasi dari keseluruhan anggota organisasi tersebut. dan seperti yang dinyatakan oleh Weick, penggunaan aturan ini tidak memuaskan dalam mengatasi masalah di lingkungan sekitar organisasi tersebut (dalam hal ini adalah permasalahan yang dihadapi masyarakat sebagai pemangku kepentingan yang utama). Dan sarannya untuk melupakan aturan untuk lebih menitikberatkan pada komunikasi intens yang menghasilkan kesepakatan bersama yang spesifik mengatasi masalah tersebut dapat dikatakan belum dilaksanakan dengan baik oleh organisasi birokrasi. Walaupun usaha untuk bergerak ke arah tersebut terus dikembangkan oleh pemerintah dengan memperkuat Badan Kepegawaian Negara dan membentuk Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi di mana kedua lembaga tersebut terus berusaha meningkatkan intensitas dan kecepatan respon komunikasi antar lembaga dalam rangka merespon perubahan lingkungan.

Dengan semakin tinggi dan cepatnya respon tersebut maka akibatnya adalah peraturan yang disesuaikan juga semakin cepat berubah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Weick bahwa lingkungan yang berubah dengan cepat memerlukan perubahan atau fleksibilitas organisasional yang tinggi pula. Dan hal itu tidak dapat dicapai dengan pembakuan aturan di masa lalu namun dengan kecepatan terciptanya kesepahaman yang sama (consensus) sebagai respon terhadap perubahan dan penyesuaian aturan yang cepat pula sesuai dengan kondisi yang berkembang. Pencapaian consensus itu hanya dapat dicapai dengan pola komunikasi yang intens dan efektif.

Penetapan: perlakukan ketetapan masa lalu sebagai gangguan

Weick menyadari bahwa kumpulan data masa lalu menghasilkan stabilitas bagi orang-orang untuk bekerja bersama-sama. Kumpulan data-data masa lalu (catatan berbagai aspek di dalam organisasi itu yang membuatnya mampu bertahan) itulah yang menjadi budaya korporat/organisasi. Namun dia merasa bahwa panduan tertulis organisasi dan kebijakan tertulis adalah pengganti yang terbatas dibandingkan dengan pengalaman dan ingatan anggota organisasi apalagi jika pengetahuan individual dan kolektif para anggota tersebut sangat menonjol. Oleh karena itu Weick lebih menyarankan para pemimpin organisasi untuk terus meninggalkan kebiasaan lama dan terus bersikap kritis agar terus dapat beradaptasi dengan lingkungan yang juga terus berubah, tidak hanya terlalu mengandalkan pada aturan yang bisa jadi tidak aplikatif lagi (Griffin, 2006).

Weick menyatakan umumnya organisasi mengalami kegagalan karena mereka kehilangan fleksibilitas dikarenakan terlalu mengandalkan masa lalunya sehingga tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah. Selain itu Weick juga menyatakan bahwa budaya organisasi tidak sepenting kemampuan dan imajinasi individual serta kolektif yang menonjol di dalam organisasi untuk mendiskusikan dan mencari solusi dalam menghadapi masalah yang datang (Gogan, 2006).

Nasehat Weick dalam masalah aturan-aturan ini memang cukup menyulitkan bagi organisasi birokrasi pemerintahan yang semua tindakannya harus didasarkan pada peraturan yang berlaku. Namun di akhir-akhir ini permasalah tersebut dapat diselesaikan dengan semakin cepatnya peraturan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang muncul. Semakin banyak peraturan kuno yang diuji ulang untuk kemudian direvisi untuk menyesuaikan diri dengan kondisi terkini lingkungan di sekitar organisasi tersebut. contohnya adalah perubahan aturan tentang kepegawaian yang semakin responsif, penyusunan aturan baru yang merespon fenomena masyarakat yang baru seperti UU ITE, pencucian uang dan peraturan-peraturan lainnya. Namun sampai saat ini dapat dikatakan bahwa kemampuan organisasi khususnya birokrasi dan pemerintahan dalam merespon perubahan lingkungan relatif masih tergopoh-gopoh dan kesulitan mengejar perubahan dunia yang sangat cepat, contohnya pada kasus kontroversi transportasi berbasis aplikasi seperti taksi on line dan juga ojek on line. Dalam kasus tersebut terlihat pemerintah tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi sehingga menimbulkan kebingungan dan konflik di masyarakat.

Kesimpulan

Dari paparan di atas terlihat bahwa dari sudut pandang Weick dalam hal organisasi sebagai pemroses informasi atau masalah dari lingkungannya, organisasi birokrasi di Indonesia masih belum sesuai dengan harapan yang divisikan oleh Weick tentang suatu organisasi yang baik. Organisasi birokrasi di Indonesia masih bergerak dengan lambat dalam merespon perubahan lingkungan di sekitarnya. Komunikasi yang terjadi di dalam organisasi birokrasi masih mengalami hambatan baik secara sistem dan juga budaya, sehingga diperlukan suatu perubahan yang sistemik untuk dapat meningkatkan efektifitas komunikasi dalam organisasi birokrasi yang pada akhirnya akan menghasilkan kinerja yang membaik pula. Selain itu birokrasi juga masih sangat mengandalkan aturan-aturan masa lalu yang menurut Weick tidak cukup membantu menyelesaikan masalah jika dibandingkan dengan kemampuan anggota-anggota organisasi dalam mendiskusikan pilihan solusi yang mutakhir (up to date - kekinian). Namun dalam perkembangannya akhir-akhir ini muncul sejumlah usaha untuk mereformasi birokrasi di Indonesia melalui penguatan komunikasi organisasi birokrasi dan menurut saya perubahan ini semakin sesuai dengan visi organisasi menurut Weick yaitu bahwa organisasi adalah proses yang hidup dan cepat sesuai dengan lingkungannya yang juga berubah dengan cepat, sehingga tidak dapat mengandalkan pada aturan kuno yang kaku namun lebih kepada diskusi yang intens di antara anggota organisasi tersebut dalam merespon masalah yang ada.

Penulis: Rahmat Purwono

Daftar Pustaka
Cornelissen, J. (2011). Corporate Communication: A Guide to Theory and Practice (3th    edition ed.). London: Sage Publication.
Gogan, J. L. (2006). Commentary on Karl Weick’s The Roles of Imagination in the           Organizing of Knowledge. European Journal of Information Systems , 15, 453-456.
Griffin, E. (. (2006). A First Look at Communication Theory (6th edition ed.). Boston:      McGrawHill.
Kuswantoro, S. (2012). Pengaruh Kepemimpinan, Komunikasi, Reward dan Motivasi       Terhadap Kinerja Pegawai Dinas Pendidikan Kabupaten Tulungagung. Otonomi , 12    (3), 93-103.
Simatupang, T. (2013). Analisis Pengaruh Kepemimpinan dan Komunikasi Terhadap Kinerja        Pegawai. EconoSains , 11 (1), 87.
Sutcliffe, K. E. (2005). Organizing and the Process of Sensemaking. Organization Science ,          16 (4), 409-421.