Pendahuluan
Sejak lama telah
bekembang stigma di masyarakat bahwa pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia
kinerjanya tidak memuaskan. Tak terhitung banyaknya laporan media massa
menyatakan bahwa kinerja pegawai negeri sangat rendah dan menjadi cibiran
masyarakat, contohnya adalah banyaknya berita razia PNS bolos kerja oleh Satuan
Polisi Pamong Praja, sidak oleh kepala daerah terhadap kehadiran PNS pada
hari-hari setelah liburan dan lain sebagainya. Namun anehnya minat masyarakat untuk
menjadi pegawai negeri masih sangat tinggi. Hal ini menimbulkan sekilas
pertanyaan terhadap masyarakat yang sebagian besar mencibir kinerja pegawai
negeri tersebut, apakah mereka mencibir karena kecewa tidak menjadi bagian dari
pegawai negeri yang mereka dambakan atau ada motif lainnya.
Di sisi lain
pemerintah sebagai pengelola PNS terus berusaha memperbaiki kinerja PNS
tersebut. Hal ini dilakukan dengan menggunakan berbagai macam strategi, di
antaranya melalui penyusunan peraturan yang semakin jelas dan ketat, menyusun
skema ‘reward and punishment’ yang
terus diperbaiki, melakukan berbagai macam pelatihan untuk meningkatkan
kompetensi mereka dan terus mensosialisasikan semua strategi tersebut kepada
sebanyak-banyaknya PNS di seluruh Indonesia melalui berbagai forum sosialisasi
dan rapat-rapat. Namun sampai saat ini perkembangan yang dirasakan masih kurang
memuaskan bagi masyarakat, terbukti dengan masih tingginya tingkat kekecewaan
masyarakat terhadap kinerja birokrat terutama yang langsung berhubungan dengan
hajat masyarakat luas seperti pelayanan di kecamatan, kelurahan, pendidikan dan
kesehatan, hal ini dapat dilihat dari berbagai berita dan komentar masyarakat
di media massa.
Secara teoritis
banyak hal yang mungkin menjadi faktor penyebab rendahnya kinerja PNS tersebut.
Dalam aspek komunikasi organisasi, rendahnya kinerja juga dapat dihasilkan dari
kurang efektifnya komunikasi baik secara internal dan eksternal dalam
organisasi birokrasi (Kuswantoro, 2012 dan Simatupang, 2013). Jika kita ambil satu sudut pandang teoritis tentang komunikasi organisasi
yang dikemukakan oleh Karl Weick. Yang menyatakan bahwa berorganisasi adalah
memproses informasi atau masalah yang timbul di lingkungannya untuk kemudian
mencari solusi terhadap informasi atau masalah tersebut. Suatu organisasi dalam
hal ini birokrasi akan mengalami pembusukan jika tidak terus dihadapkan pada
suatu isu yang progresif/baru, karena organisasi yang tidak dihadapkan pada isu
yang menantang/progresif maka organisasi tersebut akan cenderung diam di mana
sesuai dengan definisi Weick terhadap organisasi maka organisasi yang diam itu
bukan lagi sebuah organisasi.
Poin-poin Penting Pendekatan Komunikasi Organisasi Karl
Weick dan Realitanya pada Organisasi Birokrasi
Komunikasi sebagai inti berorganisasi.
Menurut Karl
Weick, gambaran tentang perjalanan organisasi secara keseluruhan terlihat
seperti perjuangan mahluk hidup untuk dapat bertahan hidup (semua bagian dari
organisasi itu terus berkomunikasi dengan aktif untuk menghasilkan
sesuatu/mempertahankan eksistensinya). Menurut Weick berorganisasi adalah
merubah informasi yang samar menjadi informasi yang dapat dipahami secara jelas
dengan menggunakan kata-kata (baik lisan atau tulisan) untuk dijadikan sebagai
dasar untuk tindakan selanjutnya. Dan karena berorganisasi adalah usaha untuk
mewujudkan “makna”, maka berorganisasi merupakan masalah bahasa, bicara dan
komunikasi. Berorganisasi/berkumpul ini cenderung terjadi saat kondisi
lingkungan dianggap berbeda dari yang diharapkan atau di saat tidak ada cara
yang jelas untuk menghadapi perubahan lingkungan (Sutcliffe, 2005). Cara yang digunakan adalah siklus
interaksi ganda (yaitu komunikasi antara organisasi
dengan lingkungannya) yang
merupakan pembentuk setiap organisasi. Siklus komunikasi ini merupakan salah
satu fokus penentu keberhasilan sebuah organisasi.
Realitas
pelaksanaan komunikasi di lembaga birokrasi sebenarnya secara formal sudah
dibentuk berbagai format untuk memfasilitasi alur komunikasi yang seoptimal
mungkin. Di antaranya melalui surat-menyurat, rapat-rapat kordinasi,
sosialisasi, bimbingan teknis, brifing dan lain sebagainya yang merupakan
bagian dari komunikasi ke bawah (down ward communication). Sedangkan dalam hal
komunikasi dari bawahan ke atasan (up ward communication) dalam organisasi
birokrasi berupa forum diskusi yang seringkali dilakukaan setelah sesi rapat
formal dan analisa staf (Cornelissen, 2011). Namun di berbagai kesempatan dapat
dilihat bahwa rapat-rapat atau forum sosialisasi tersebut seringkali tidak
dimaknai sebagai suatu hal yang penting, hanya dianggap sebagai acara
formalitas untuk menghabiskan anggaran atau memenuhi program kerja yang telah
direncanakan.
Dan dalam hal
pelaksanaan komunikasi yang efektif ini juga terdapat faktor budaya yang cukup
berpengaruh yaitu salah satunya adalah budaya ‘ewuh pakewuh’ yang
sedikit banyak akan mengurangi atau mendistorsi intensitas terjadinya komunikasi yang lancar antara
semua bagian dalam organisasi tersebut dalam merespon informasi dari
lingkungan. Di satu sisi dikarenakan struktur lembaga birokrasi yang dibuat
kaku maka komunikasi yang berupa masukan dari bawahan kurang dapat diterima dan
dijadikan bahan untuk mencari solusi. Di sisi lain atasan seringkali tidak
mampu mengkomunikasikan teguran atau kekecewaan terhadap bawahannya dikarenakan
budaya kerja dan sistem kepegawaian yang juga kurang memberikan ruang terhadap
adanya komunikasi yang lugas seperti itu.
Tujuan berorganisasi adalah untuk mempertahankan
eksistensi organisasi.
Weick juga
mengadopsi
teori Darwin terhadap
organisasi, di mana tujuan utama organisasi adalah untuk eksis melampaui tujuan
yang ada dalam AD/ART mereka. Organisasi yang tidak dapat beradaptasi terhadap lingkungan sosio-kulturalnya akan
mati, sehingga jika mereka
ingin eksis maka mereka perlu
beradaptasi. Oleh sebab itu
terdapat organisasi yang lebih mampu terus menyesuaikan diri dengan
lingkungannya dan bertahan hidup dibandingkan organisasi lainnya (contohnya
persaingan antar sekolah dalam mendapatkan siswa dan timbul tenggelamnya
perguruan tinggi swasta). Dan pendorong perubahan di dalam organisasi adalah
perubahan perilaku anggotanya (maka yang sangat menentukan dalam kemampuan
bertahan hidup sebuah organisasi adalah kemampuan anggotanya untuk merubah
perilaku agar sesuai dengan lingkungannya).
Dalam organisasi
birokrasi khususnya di Indonesia, pemahaman tujuan beroganisasi untuk
mempertahankan eksistensi lembaga tidak terjadi atau sedikit sekali, terdapat
suatu pemahaman bahwa setelah menjadi PNS maka apapun yang terjadi dengan
lembaga tersebut tidak akan mematikan karir PNS tersebut, contohnya jika suatu
lembaga dibubarkan (dimatikan dalam istilah Weick) seperti pada kasus
Departemen Penerangan dan Departemen Sosial pada era pemerintahan Gus Dur, maka
PNS di dalamnya tidak serta merta juga dipecat atau kehilangan status sebagai
PNS. PNS di departemen tersebut hanya akan dipindahkan ke departemen lainnya.
Secara tidak langsung hal ini menimbulkan suatu pemikiran pada para PNS bahwa
apapun yang terjadi dengan lembaga mereka (eksis atau tidaknya lembaga) tidak
menjadi masalah yang mengkhawatirkan bagi mereka para PNS sehingga sebagian
besar cenderung berkinerja biasa saja atau sekedar memenuhi standar minimal
agar tidak dipecat.
Namun
akhir-akhir ini untuk merespon perubahan lingkungan yang semakin cepat terlihat
sejumlah upaya untuk merubah perilaku para birokrat dengan dilakukannya
sejumlah inovasi di bidang kepegawaian. Contohnya adalah lelang jabatan yang
yang dilakukan oleh Pemerintah Jokowi di Jakarta. Dengan diadakannya lelang
terbuka atau seleksi terbuka dalam merekrut pejabat maka secara tidak langsung
Jokowi mengkomunikasikan kepada bawahannya untuk mempersiapkan diri untuk terus
diuji kapasitas dan kompetensinya dan hal ini tentu saja sedikit banyak akan
merubah perilaku birokrat di Jakarta yang mungkin dulunya mendapatkan jabatan
dengan mendekati pimpinan secara personal, sedangkan sekarang dibutuhkan
semuanya, baik kemampuan komunikasi interpersonal dan juga aspek objektif
seperti pemahaman, kompetensi dan wawasan.
Menurut Weick,
evolusi sosio-kultural lingkungan di sekitar organisasi adalah proses tiga tahap yang
dimulai dengan penindakan.
Penindakan - pemilihan interpretasi - penetapan solusi
Penindakan:
jangan
hanya diam,
lakukan sesuatu.
Weick
menyatakan bahwa sulit membuat batas yang pasti antara organisasi dengan
lingkungan di sekitarnya dan tindakan merupakan ide dasar pembentukan organisasi. Weick yakin bahwa kegagalan melakukan aksi ini adalah penyebab sebagian besar ketidakefektifan suatu
organisasi. Manajer
gagal adalah yang diam saja.
Beberapa kata
nasehat dari Weick yang akan terdengar ‘unik’ bagi pendekatan komunikasi
organisasi konvensional:
Bersiap, tembak, bidik.
Bertindak dulu berpikir kemudian.
Bersiap melompat sebelum melihat keadaan.
Ketepatan tidak sepenting semangat.
Tindakan semrawut lebih baik daripada kelambanan/diam
yang tertib.
Weick yakin
bahwa tindakan adalah prasyarat terjadinya pemahaman, yaitu dengan bertanya,
bernegosiasi, membangun pemikiran awal untuk memancing reaksi dan atau
menyatakan sesuatu untuk melihat respon yang terjadi. Oleh sebab itulah menurut
Weick organisasi yang baik adalah yang lebih sering melakukan pertemuan untuk
“menindaklanjuti” berbagai keadaan/informasi yang samar-samar.
Dalam organisasi
birokrasi di Indonesia, nasehat-nasehat Weick di atas cukup sulit dilaksanakan.
Dapat dikatakan bahwa inisiatif (enactment
- dalam istilah Weick) merupakan hal yang tabu dilakukan oleh PNS, karena
biasanya dianggap sebagai ancaman bagi pimpinan secara berjenjang (hanya
bawahan yang bermental baja saja yang mungkin dapat melakukan inisiatif dan
masukan kepada pimpinan). Fenomena tidak adanya inisiatif ini tidak hanya
terjadi pada birokrat level bawah saja, namun pejabat birokrat tinggipun tidak
akan dapat memberikan alternative tindakan terhadap keputusan atasannya yang
mungkin saja salah, hal ini dapat dilihat dengan mengamati kasus korupsi yang
biasanya terjadi secara berjamaah contoh yang jelas adalah pada kasus korupsi
Hambalang di mana menteri, sekjen, kepala biro, kepala bagian di Kemenpora
terlibat yang menunjukkan bahwa kebijakan pimpinan yang salah tidak diberi
alternative jalan keluar oleh para bawahannya. Dengan berpusatnya hak inisiatif
pada elit organisasi birokrasi maka sebagian besar pegawai dalam lembaga
birokrasi dapat dikatakan bersifat pasif atau menunggu perintah. Sehingga
muncullah fenomena PNS yang datang-absen-duduk-baca koran-ngobrol-pulang. Walaupun
sebenarnya secara formal terdapat nilai inisiatif dalam daftar penilaian
kinerja pegawai. Selain itu inisiatif atau aksi pada PNS seringkali tidak
dibarengi dengan dukungan secara logistic dan finansial. Seringkali PNS yang
berinisiatif melakukan sesuatu maka dia akan melakukannya sendirian tanpa
dukungan logistic dan finansial dari pimpinan, dalam istilah lokal dikatakan
“yang usul berarti dialah yang mikul pekerjaan tersebut (usul mikul – dalam bahasa
Jawa)”. Dengan keadaan seperti itu semakin ciutlah keinginan PNS untuk
bertindak lebih dari yang diharapkan (beyond
expectation). Belum lagi menghadapi
batasan aturan dan penganggaran yang kaku namun seringkali
subjektif tergantung siapa yang berkuasa, lenyaplah potensi enactment dari para anggota organisasi birokrasi tersebut.
Seleksi/pemilihan interpretasi: proses pemahaman yang
bersifat retrospektif
Menurut Weick
dasar konsep pemilihan informasi yang bersifat retrospektif adalah bahwa kita
tidak dapat menginterpretasi tindakan yang belum kita lakukan. Sehingga kita
harus melakukan sesuatu terlebih dahulu untuk kemudian menginterpretasikannya.
Perencanaan dilakukan setelah melakukan penindakan.
Kesamaran
informasi - penindakan - penetapan/pemilihan interpretasi
Terdapat dua
instrumen
organisasional
yang dapat membantu pemilihan
interpretasi, yaitu aturan-aturan (budaya korporat atau organisasi) dan
siklus komunikasi (yaitu
siklus tindakan–respon–penyesuaian). Namun aturan-aturan (budaya organisasi) ini kurang
memuaskan dalam menghadapi
situasi yang multi dimensi. Weick menyatakan bahwa aturan dapat
diaplikasikan jika kesamarannya
rendah. Namun apabila terlalu banyak interpretasi yang saling berlawanan maka aturan
cenderung gagal memperjelas keadaan. Sehingga Weick lebih menekankan metode
siklus aksi/tindakan–respon–penyesuaian (komunikasi intensif). Hal ini dapat
dilakukan melalui wawancara, pertemuan, brifing terbuka, konferensi, telepon, diskusi, emails,
pertemuan makan siang atau sekedar
mengobrol. Weick mengatakan bahwa semakin samar sebuah informasi yang
harus diproses oleh organisasi, maka semakin banyak diperlukan siklus komunikasi
(pertemuan) untuk
mengurangi kebingungan
sampai pada batas yang dapat diterima.
Dalam hal
pemilihan interpretasi atas tindakan organisasional yang telah dilakukan,
organisasi birokrasi relatif melakukannya dengan menggunakan dasar aturan-aturan
atau budaya organisasi (kultur instansi). Walaupun proses pemilihan
interpretasi ini juga masih terbatas terhadap para elit organisasi (pimpinan). Sehingga
yang tercakup di dalamnya tentu saja tidak mencakup aspirasi dari keseluruhan
anggota organisasi tersebut. dan seperti yang dinyatakan oleh Weick, penggunaan
aturan ini tidak memuaskan dalam mengatasi masalah di lingkungan sekitar
organisasi tersebut (dalam hal ini adalah permasalahan yang dihadapi masyarakat
sebagai pemangku kepentingan yang utama). Dan sarannya untuk melupakan aturan
untuk lebih menitikberatkan pada komunikasi intens yang menghasilkan
kesepakatan bersama yang spesifik mengatasi masalah tersebut dapat dikatakan
belum dilaksanakan dengan baik oleh organisasi birokrasi. Walaupun usaha untuk
bergerak ke arah tersebut terus dikembangkan oleh pemerintah dengan memperkuat
Badan Kepegawaian Negara dan membentuk Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi di mana kedua lembaga tersebut terus berusaha
meningkatkan intensitas dan kecepatan respon komunikasi antar lembaga dalam
rangka merespon perubahan lingkungan.
Dengan semakin tinggi
dan cepatnya respon tersebut maka akibatnya adalah peraturan yang disesuaikan
juga semakin cepat berubah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Weick bahwa
lingkungan yang berubah dengan cepat memerlukan perubahan atau fleksibilitas
organisasional yang tinggi pula. Dan hal itu tidak dapat dicapai dengan
pembakuan aturan di masa lalu namun dengan kecepatan terciptanya kesepahaman
yang sama (consensus) sebagai respon terhadap perubahan dan penyesuaian aturan
yang cepat pula sesuai dengan kondisi yang berkembang. Pencapaian consensus itu
hanya dapat dicapai dengan pola komunikasi yang intens dan efektif.
Penetapan:
perlakukan
ketetapan masa lalu
sebagai gangguan
Weick menyadari bahwa kumpulan data masa lalu menghasilkan stabilitas bagi
orang-orang untuk bekerja bersama-sama. Kumpulan data-data masa lalu (catatan berbagai aspek
di dalam organisasi itu yang membuatnya mampu bertahan) itulah yang menjadi budaya
korporat/organisasi. Namun dia merasa bahwa panduan tertulis organisasi dan kebijakan
tertulis adalah pengganti yang terbatas dibandingkan dengan pengalaman dan
ingatan anggota organisasi apalagi jika pengetahuan individual dan kolektif
para anggota tersebut sangat menonjol. Oleh karena itu Weick lebih menyarankan
para pemimpin organisasi untuk terus meninggalkan kebiasaan lama dan terus
bersikap kritis agar terus dapat beradaptasi dengan lingkungan yang juga terus
berubah, tidak hanya terlalu mengandalkan pada aturan yang bisa jadi tidak
aplikatif lagi (Griffin, 2006).
Weick menyatakan umumnya organisasi mengalami kegagalan
karena mereka kehilangan fleksibilitas dikarenakan terlalu mengandalkan masa
lalunya sehingga
tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah. Selain itu Weick
juga menyatakan bahwa budaya organisasi tidak sepenting kemampuan dan imajinasi
individual serta kolektif yang menonjol di dalam organisasi untuk mendiskusikan
dan mencari solusi dalam menghadapi masalah yang datang (Gogan, 2006).
Nasehat Weick
dalam masalah aturan-aturan ini memang cukup menyulitkan bagi organisasi
birokrasi pemerintahan yang semua tindakannya harus didasarkan pada peraturan
yang berlaku. Namun di akhir-akhir ini permasalah tersebut dapat diselesaikan
dengan semakin cepatnya peraturan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang
muncul. Semakin banyak peraturan kuno yang diuji ulang untuk kemudian direvisi
untuk menyesuaikan
diri dengan kondisi
terkini lingkungan di sekitar organisasi tersebut. contohnya adalah perubahan
aturan tentang kepegawaian yang semakin responsif, penyusunan aturan baru yang merespon fenomena
masyarakat yang baru seperti UU ITE, pencucian uang dan peraturan-peraturan
lainnya.
Namun sampai saat ini dapat dikatakan bahwa kemampuan organisasi khususnya
birokrasi dan pemerintahan dalam merespon perubahan lingkungan relatif masih
tergopoh-gopoh dan kesulitan mengejar perubahan dunia yang sangat cepat,
contohnya pada kasus kontroversi transportasi berbasis aplikasi seperti taksi on line dan juga ojek on line. Dalam kasus tersebut terlihat
pemerintah tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi sehingga menimbulkan kebingungan
dan konflik di masyarakat.
Kesimpulan
Dari paparan di
atas terlihat bahwa dari sudut pandang Weick dalam hal organisasi sebagai
pemroses informasi atau masalah dari lingkungannya, organisasi birokrasi di
Indonesia masih belum sesuai dengan harapan yang divisikan oleh Weick tentang
suatu organisasi yang baik. Organisasi birokrasi di Indonesia masih bergerak
dengan lambat dalam merespon perubahan lingkungan di sekitarnya. Komunikasi
yang terjadi di dalam organisasi birokrasi masih mengalami hambatan baik secara
sistem dan juga budaya, sehingga diperlukan suatu perubahan yang sistemik untuk
dapat meningkatkan efektifitas komunikasi dalam organisasi birokrasi yang pada
akhirnya akan menghasilkan kinerja yang membaik pula. Selain itu birokrasi juga
masih sangat mengandalkan aturan-aturan masa lalu yang menurut Weick tidak
cukup membantu menyelesaikan masalah jika dibandingkan dengan kemampuan
anggota-anggota organisasi dalam mendiskusikan pilihan solusi yang mutakhir (up
to date - kekinian). Namun dalam perkembangannya akhir-akhir ini muncul
sejumlah usaha untuk mereformasi birokrasi di Indonesia melalui penguatan
komunikasi organisasi birokrasi dan menurut saya perubahan ini semakin sesuai
dengan visi organisasi menurut Weick yaitu bahwa organisasi adalah proses yang hidup
dan cepat sesuai dengan lingkungannya yang juga berubah dengan cepat, sehingga tidak
dapat mengandalkan pada aturan kuno yang kaku namun lebih kepada diskusi yang
intens di antara anggota organisasi tersebut dalam merespon masalah yang ada.
Penulis: Rahmat Purwono
Penulis: Rahmat Purwono
Daftar Pustaka
Cornelissen, J. (2011). Corporate Communication: A Guide
to Theory and Practice (3th edition
ed.). London: Sage Publication.
Gogan, J. L. (2006). Commentary on Karl Weick’s The Roles of
Imagination in the Organizing of
Knowledge. European Journal of Information Systems , 15, 453-456.
Griffin, E. (. (2006). A First Look at Communication
Theory (6th edition ed.). Boston: McGrawHill.
Kuswantoro, S. (2012). Pengaruh Kepemimpinan, Komunikasi,
Reward dan Motivasi Terhadap Kinerja
Pegawai Dinas Pendidikan Kabupaten Tulungagung. Otonomi , 12 (3), 93-103.
Simatupang, T. (2013). Analisis Pengaruh Kepemimpinan dan
Komunikasi Terhadap Kinerja Pegawai.
EconoSains , 11 (1), 87.
Sutcliffe, K. E. (2005). Organizing and the Process of
Sensemaking. Organization Science , 16
(4), 409-421.