Senin, 01 Mei 2017

Diplomasi Publik dan Posisi Pemerintah Indonesia di Dalamnya



Diplomasi publik sebagai bagian dari aktifitas politik internasional suatu negara merupakan salah satu aspek penting bagi keberhasilan lobi politik internasional pemerintah atau negara Indonesia. Jika pemerintah hanya mengandalkan diplomasi formal antar departemen luar negeri atau antar institusi formal negara maka proses lobi tersebut akan sangat bersifat politis dan formal serta kurang mengakomodir berbagai sentimen publik yang sebenarnya mungkin saja sangat berpengaruh terhadap keputusan negara lain dalam menentukan langkah politik yang berpengaruh bagi kepentingan nasional kita. Contoh yang paling signifikan dalam kasus ini adalah pada saat proses dimasukkannya Timor Leste sebagai bagian dari negara Indonesia. Dalam proses tersebut pemerintah yang otoriter cenderung hanya mengandalkan kesepakatan politik internasional antar pemerintahan dengan negara adikuasa pada masa itu yaitu dukungan dari Amerika Serikat untuk memasukkan Timor Leste sebagai bagian Indonesia dengan sejumlah alasan di antaranya ketakutan bahwa Timor Leste akan menjadi sumber ancaman faham Komunisme bagi kawasan Asia Tenggara dan Australia (Ratican, 2005).

Dalam proses selanjutnya pemerintah Indonesia cenderung bergerak di ranah diplomasi antar lembaga antar negara yang itupun juga terbatas dalam arti tidak intensif dan kurang memperhatikan aspek publik atau diplomasi publik yang bisa jadi menentukan keputusan pemerintah negara lain. Mungkin hal ini dikarenakan sifat pemerintahan Indonesia di masa itu yang otoriter sehingga cenderung meniadakan atau menganggap remeh peran publik dalam mengambil keputusan. Sehingga ketika rezim di negara-negara pendukung “pendudukan” tersebut berubah seperti di Amerika Serikat dan juga penolakan publik Australia terhadap “aksi pendudukan” tersebut, menghasilkan kebijakan pemerintah yang berbeda yang kemudian “mencabut” dukungannya terhadap pendudukan Indonesia terhadap Timor Leste maka pemerintah Indonesia kesulitan untuk melakukan lobi dalam melawan tekanan dari publik internasional. Dalam perjalanannya akhirnya pemerintah Indonesia kehilangan legitimasi terhadap penguasaan Timor Leste dan pada akhirnya melepaskannya padahal sudah begitu banyak yang telah dikorbankan negara Indonesia dan juga sebagian warga Timor Leste yang pro integrasi untuk mewujudkan integrasi tersebut (Ratican, 2005).

Selain itu diplomasi publik juga sangat efektif untuk meningkatkan citra bangsa terhadap publik internasional yang dapat diistilahkan “branding” citra negara ke publik global. Penguasaan perangkat diplomasi publik yang lebih kepada kekuatan budaya dan pendidikan sangat mempengaruhi kualitas kemampuan suatu negara menyampaikan pesan-pesan dan mempengaruhi publik negara lain yang pada akhirnya akan mempengaruhi kebijakan yang diambil pemerintahannya. Kualitas budaya yang tinggi, baik budaya tradisional dan juga budaya populer akan mempermudah suatu negara mengirimkan pesan-pesan kepada negara lain, mempererat hubungan antar publik internasional dan pada akhirnya mempermudah negara tersebut dalam mempengaruhi publik dan keputusan pemerintahannya yang terkait dengan kepentingan nasional negara pengirim pesan. Contoh peningkatan kekuatan baik budaya tradisional dan juga budaya populer yang jauh melampaui perkembangan kekuatan budaya negara lain adalah penyebaran budaya Korea Selatan melalui industri kreatif K-Pop. Industri kreatif Korea Selatan tersebut meliputi film, musik dan pernak-pernik budaya lainnya, industri budaya tersebut mampu menyebar luas bahkan mampu menyaingi atau melampaui budaya pop Jepang dan China (Hong Kong) yang telah mapan sebelumnya dalam penetrasi dan penyebarannya ke seluruh dunia. Penyebaran ini tentu mempengaruhi berbagai aspek dalam politik internasional yang dijalani oleh Korea Selatan sehingga secara langsung semakin banyak publik internasional yang ingin bersimpati, berkunjung ke Korea Selatan dan meningkatkan kunjungan wisata dan pada akhirnya menghasilkan pemasukan finansial yang cukup besar dan secara tidak langsung setidaknya akan semakin mempermudah usaha-usaha politik internasional atau penggalangan opini internasional yang dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan terutama terkait konfliknya dengan Korea Utara (Liang, 2013).

Dalam aspek kekuatan dunia pendidikan, potensi yang dimiliki Australia atau tetangga terdekat kita Singapura dan Malaysia juga cenderung membuat citra negara mereka lebih unggul daripada Indonesia sehingga lebih banyak masyarakat Indonesia yang pergi belajar ke negara-negara tersebut dibandingkan jumlah warga negara-negara tersebut yang memilih lembaga pendidikan tinggi di Indonesia. Fenomena tersebut berkembang baik melalui program beasiswa dan juga dengan biaya masyarakat sendiri sehingga menjadikan posisi publik Indonesia lebih cenderung sebagai publik yang dipengaruhi (publik penerima pesan). Walaupun semakin meningkatnya kualitas pendidikan publik Indonesia melalui program belajar ke pendidikan tinggi unggulan di negara-negara tetangga tersebut juga menghasilkan peningkatan kualitas pendidikan Indonesia, namun kualitas pendidikan Indonesia sampai saat ini belum mampu bersaing atau bahkan menyalip kualitas pendidikan bahkan jika dibandingkan dengan Malaysia. Sehingga dalam dunia pendidikan Indonesia masih belum merupakan pusat rujukan pendidikan bahkan bagi negara-negara di regional Asia Tenggara (Phillip G. Altbach, 2012) sehingga sulit bagi Indonesia untuk mengembangkan diplomasi publik berbasis kekuatan pendidikan tingginya.

Tulisan ini akan memaparkan bagaimana konsep diplomasi publik tersebut dibedakan dari diplomasi tradisional atau diplomasi formal antar lembaga negara dalam politik dan komunikasi internasional. Kemudian dipaparkan sejumlah aspek yang berperan dan penting dalam diplomasi publik dan praktek diplomasi publik yang sejak lama dijalankan oleh pionir diplomasi publik yaitu negara adi kuasa seperti Amerika Serikat serta negara-negara Eropa Barat. Dari paparan tersebut akan diperoleh apa saja alasan, syarat-syarat keberhasilan dan hasil dari pelaksanaan diplomasi publik untuk kemudian dikomparasikan dengan praktek yang telah dijalankan oleh pemerintah Indonesia serta potensi apa saja yang dimiliki oleh pemerintah dan seluruh komponen bangsa untuk meningkatkan peran diplomasi publik sebagai media “branding” dan peningkatan citra bangsa secara keseluruhan.

Menurut Mark McDowell (2008) diplomasi publik merupakan istilah yang mulai berkembang terutama sejak tahun 60-an untuk menggambarkan suatu proses yang pada awalnya berupa ‘menginformasikan dan mempengaruhi publik di luar negeri atau di negara lain’. Konsep ini juga memasukkan ‘berbagai dampak transnasional yang ditimbulkan baik dari aktifitas pemerintah atau lembaga/pihak non pemerintah – yang termasuk di dalamnya adalah budaya populer, fashion, olahraga, berita dan internet’ yang secara langsung atau tidak mendukung kepentingan nasional negara tersebut (kebijakan luar negeri, keamanan nasional, perdagangan, pariwisata dan kepentingan nasional lainnya). Diplomasi publik adalah usaha sistematis dari suatu pemerintah untuk mempengaruhi publik di negara lain tentang suatu isu tertentu, tanpa unsur keterlibatan dan tujuan/niatan sistematis dari pemerintah maka suatu fenomena persepsi publik asing terhadap suatu negara hanyalah merupakan efek samping dari komunikasi internasional (McDowell, 2008).
Sedangkan Peter Van Ham menyatakan bahwa diplomasi publik peran dan posisinya dalam politik internasional telah terus berubah seiring waktu. Dalam hal tujuan, diplomasi publik dirumuskan di antaranya sebagai usaha berkomunikasi secara langsung dengan publik di luar negeri, merubah atau mengarahkan pemerintahan negara lain dengan cara mempengaruhi warganya, atau menciptakan citra yang diinginkan terhadap suatu kebijakan, aksi, sistem politik dan ekonomi dari suatu negara. Dan akhirnya merumuskan elemen kunci diplomasi publik adalah membangun hubungan baik secara pribadi dan instusional serta mengembangkan dialog dengan publik luar negeri terkait dengan nilai-nilai ideal bersama, tidak seperti diplomasi tradisional yang cenderung membahas isu-isu spesifik. Diplomasi publik juga merupakan bagian dari diskursus yang melibatkan komunikasi strategis dan ‘branding’ (Ham, 2003).

Menurut Mark McDowell (2008) dalam pola diplomasi tradisional, pemerintah A berusaha mempengaruhi pemerintah B melalui jalur formal diplomasi seperti perundingan, diskusi dan berbagai pertemuan formal lainnya. Dalam pola diplomasi tradisional ini masyarakat atau publik di antara kedua negara tidak dilibatkan. Sedangkan dalam pola diplomasi publik pada gambar 2 pemerintah A selain mengadakan pendekatan terhadap pemerintah B melalui jalur formal juga melakukan pendekatan terhadap masyarakat B untuk menyampaikan pesan yang dimaksud (bisa jadi berupa pameran atau pengiriman delegasi perdagangan, pertukaran pelajar, pameran budaya dan lain-lain dengan tujuan peningkatan perdagangan, pariwisata, investasi, pendidikan dan imigran) atau pesan-pesan tertentu lainnya terkait nilai-nilai ideologis agar masyarakat B dapat memberikan tekanan kepada pemerintah B untuk menyesuaikan diri dengan pemerintah A. Model diplomasi publik ini contoh awalnya adalah usaha Inggris mempengaruhi publik Amerika Serikat pada Perang Dunia untuk ikut menekan pemerintahnya agar memberikan bantuan militer terhadap Sekutu di Eropa. Selain itu model ini dalam jangka panjang meningkatkan hubungan baik antara dua negara tersebut. Kelemahan model diplomasi publik ini adalah bahwa seringkali gerakan ini dengan mudah dikaitkan dengan propaganda, karena pemerintah terlibat intens dalam menyampaikan pesan ke masyarakat di negara lain.

Pada gambar 3, pola diplomasi publik ini merupakan perbaikan dari pola diplomasi publik sebelumnya yang dianggap berbau propaganda (gambar 2). Dalam diplomasi publik ini menitikberatkan usaha bersama antara pemerintah dan publik (masyarakat sipil) negara A untuk mempengaruhi pemerintah B dan juga mempengaruhi masyarakat B untuk menekan pemerintahnya agar menerima dan terpengaruh oleh pesan yang disampaikan oleh pemerintah A. Usaha-usaha ini seringkali dilakukan melalui berbagai forum non politis seperti festival kesenian dan budaya, pameran seni, tur film dan musik. Selain itu juga melalui berbagai forum diskusi LSM atau pertukaran pelajar dan lain sebagainya. Dalam proses itu bisa saja tidak terlihat ada campur tangan pemerintah, namun forum-forum tersebut merupakan diplomasi publik jika dilakukan dengan kesadaran dan perencanaan menyeluruh oleh pemerintah atau setidaknya diijinkan dan disetujui oleh pemerintah.

Mark McDowell juga menyatakan bahwa diplomasi publik dapat berfungsi dengan baik di antara dua atau lebih negara-negara demokratis karena pesan yang disampaikan tidak akan mendapatkan banyak halangan dan publik yang dipengaruhi dapat memberikan input kepada pemerintahannya tanpa halangan yang berarti pula. Pada negara non demokrasi, diplomasi publik bekerja secara berbeda yaitu seringkali bersifat propaganda dengan secara searah memperkuat kesadaran publik untuk meningkatkan demokratisasi dan pada akhirnya publik melawan pemerintahan otoriter seperti pada kasus di masa Perang Dingin di mana Voice of America menyiarkan pesan-pesan demokratis untuk mendukung dan memperkuat nilai-nilai demokrasi dalam publik negara-negara blok komunis, sehingga pada akhirnya publik dapat berperan serta menggulingkan pemerintah otoriter tersebut. Saat ini usaha-usaha yang sama juga sedang dikembangkan Amerika Serikat untuk mendukung perang mereka melawan teror dengan melakukan pendekatan diplomasi publik terhadap negara-negara berpenduduk Muslim.

Diplomasi publik juga semakin menguat di era globalisasi saat ini dengan semakin majunya teknologi informasi (Information Society), lalu-lintas komunikasi internasional yang semakin marak dan perjalanan antar negara yang semakin mudah. Sehingga pertukaran ide-ide antara pemerintah dan publik dari berbagai negara semakin mudah terjadi. Namun dikarenakan adanya kesenjangan antar negara terkait pertumbuhan ‘masyarakat informasi’ maka diperlukan pemetaan yang lebih rinci untuk menerapkan strategi diplomasi publik yang paling efektif terhadap masing-masing negara. Bagi negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China masalah dalam publik diplomasi adalah begitu banyaknya informasi yang telah diakses oleh publik dunia tentang citra mereka sehingga sedikit saja permasalahan muncul maka akan mempersulit fokus diplomasi publik yang sedang mereka programkan. Sedangkan bagi negara-negara kecil atau belum memiliki reputasi yang luas seperti Bhutan, Brunei atau Kazakhstan, di satu sisi mereka hanya mengelola informasi yang tidak terlalu banyak sehingga dapat fokus menggarap isu tertentu yang akan meningkatkan citra negara bagi publik negara lain yang mereka targetkan namun di sisi lain persepsi yang sudah tercipta di publik negara lain sebelumnya memerlukan usaha re-branding yang luas untuk dapat merubah persepsi tersebut.

Diplomasi publik ini juga berhubungan dengan ‘soft power (SP)’ ala Joseph Nye yaitu usaha-usaha untuk membuat pemerintah negara lain melakukan apa yang kita agendakan tanpa menggunakan kekuatan koersif/paksaan atau bayaran. Sumber-sumber SP ini menurut Robert Nye berasal dari budaya bangsa, nilai dan idealisme yang mereka miliki serta kebijakan yang diambil. Karena diplomasi publik hanya dalam porsi menyebarluaskan budaya bangsa, nilai ideal dan kebijakan, maka diplomasi publik dapat dikatakan merupakan salah satu unsur di bawah diplomasi sebagai bagian dari keseluruhan program-program pemerintahan yang secara utuh menghasilkan ‘soft power’ suatu negara. Maka secara garis besar diplomasi publik merupakan salah satu unsur pendukung ‘soft power’ dari suatu negara dengan fungsi menyebarluaskan budaya dan nilai-nilai ideal suatu negara untuk dipahami secara bersama, menjelaskan kebijakan yang diambil terkait suatu isu internasional dan yang terpenting adalah kordinasi diplomasi publik dengan masyarakat sipil untuk menghasilkan pesan yang kredibel, sehingga pada akhirnya membangun hubungan baik antar warga di negara yang berbeda.

Tujuan diplomasi publik menurut Mark McDowell terbagi menjadi tiga bagian yaitu jangka pendek berupa advokasi isu, jangka menengah meningkatkan hubungan baik dengan elit antar negara dan dalam jangka panjang adalah menjalin hubungan baik dengan publik yang sebenarnya (masyarakat negara lain), sehingga hubungan baik tersebut terjadi secara menyeluruh. Untuk tujuan jangka panjang yaitu membangun hubungan baik antar masyarakat bangsa itulah yang menjadi kesulitan tersendiri bagi praktisi diplomasi publik. Penilaian efektifitas program diplomasi publik akan sulit dihitung secara kuantitatif dikarenakan efeknya yang tidak jelas/langsung dirasakan, padahal setiap program kegiatan pemerintah membutuhkan perhitungan yang jelas untuk mendapatkan alokasi dana pemerintahan yang sangat terbatas. Sehingga seringkali program diplomasi publik yang diutamakan adalah program advokasi isu-isu internasional tertentu yang setidaknya dapat diukur efektifitas keberhasilannya. Walaupun demikian bagi negara-negara besar dengan kondisi ekonomi yang baik mereka tidak hanya melakukan advokasi terkait isu yang berkembang namun juga tetap mengembangkan kegiatan-kegiatan diplomasi publik yang mengarah pada peningkatan hubungan baik antar elit dan juga hubungan baik antar warga negara (publik) terutama dengan negara-negara yang strategis bagi kepentingan nasional mereka.

Menurut pengamatan saya, negara-negara yang mampu melakukan diplomasi publik yang luas adalah negara dengan sumber daya yang telah mencukupi. Contoh utama adalah Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat pada umumnya. Propaganda dan manajemen informasi terhadap publik internasional telah dikembangkan lebih dulu dan lebih maju oleh mereka. Sejak Perang Dunia I dan II, kemudian dilanjutkan dengan era Perang Dingin, utamanya Amerika Serikat selalu memberikan perhatian yang baik terhadap diplomasi publik ini dengan membentuk badan-badan khusus terkait penyebaran informasi contohnya Committee on Public Information pada PD I, Office of War Information and the Advertising Council selama PD II, United States Information Agency (USIA) pada era Perang Dingin, bahkan pada tahun 1980-an Reagen membentuk Office of Public Diplomacy untuk mendukung perang Amerika di Amerika Tengah. Sempat terjadi penurunan peran diplomasi publik sejak berakhirnya era Perang Dingin dikarenakan Amerika merasa model bermasyarakat mereka tidak lagi memiliki tantangan ideologis yang serius. Namun dengan terjadinya peristiwa serangan ‘9/11’ di tahun 2001 yang begitu mengejutkan bangsa Amerika, maka selain melakukan aksi balasan secara militer dan politis ke sejumlah target, mereka juga kembali mengaktifkan dan meningkatkan peran diplomasi publik selain sebagai alat ‘perang informasi/propaganda’ sebagai tambahan terhadap tindakan militer untuk mengeliminir ancaman, juga untuk meredakan kesenjangan nilai-nilai ideal dan mencari kesepahaman dengan publik global terutama publik Muslim di dunia (Zaharna, 2010).

Dengan ekonomi yang telah maju mereka mampu membiayai berbagai aspek dalam diplomasi publik terutama di bidang budaya dan pendidikan. Melalui industri budaya populernya, dapat dikatakan hanya sejumlah kecil negara yang tidak terpengaruh dengan idealisme dan nilai-nilai yang dianut oleh negara-negara Barat tersebut. Melalui industri budaya populer tersebut masyarakat di negara-negara lain cenderung mengagumi dan menghormati kemampuan budaya negara-negara Barat sehingga setidaknya tidak antipati terhadap sebagian aspek budaya negara Barat, walaupun dalam hal kebijakan pemerintahan bisa jadi sebagian besar masyarakat sejumlah negara-negara sangat anti terhadap kebijakan negara-negara Barat (Seib, 2009).

Dalam kasus Perang Melawan Teror oleh Amerika Serikat, untuk menetralkan publik Muslim yang mengancam kepentingan nasional Amerika. Mereka melakukan pendekatan dengan memisahkan sebagian besar (silent majority) publik Muslim sebagai publik dengan idealisme yang setidaknya sama dengan idealisme rakyat Amerika (kebebasan, keadilan, demokrasi dan lain sebagainya) dengan kelompok-kelompok atau rejim politik Muslim yang anti Amerika (kelompok ‘jahat/evil’). Terhadap publik silent majority disuguhkan informasi bahwa Amerika merupakan ‘pembebas’ dari rejim yang jahat dan bukan sebagai ‘pasukan pendudukan’. Walaupun dalam praktek khususnya di Irak dan Afganistan, Amerika Serikat tidak atau belum terbukti mampu membebaskan publik mayoritas dari kekacauan akibat Perang Melawan Teror tersebut.

Dalam melakukan diplomasi publik ini juga ditekankan pentingnya peran aktor non negara, atau aktor masyarakat sipil. Berbagai proyek hubungan masyarakat terhadap publik Muslim ini dialihdayakan kepada kelompok-kelompok non pemerintah dengan harapan meningkatkan kredibilitas pesan yang akan disampaikan. Amerika Serikat melibatkan dunia seni dan budaya seperti film dan musik populer, industri TV dan radio, lembaga pendidikan tinggi, internet dan berbagai perusahaan swasta mereka, semuanya digunakan untuk menyampaikan citra dan nilai-nilai ideal rakyat Amerika yang sesungguhnya serupa dengan apa yang diidealkan oleh publik Muslim. Dengan keunggulan budaya dalam hal seni film dan seni musik, film dan musik pop Amerika jelas mudah masuk ke dalam publik Muslim dan setidaknya menetralisir sentimen antipati terhadap Amerika. Pemberian beasiswa-beasiswa pendidikan tinggi terhadap mahasiswa-mahasiswa di negara-negara Muslim juga diharapkan mengurangi sentimen anti Amerika, dan berbagai upaya lainnya (Ham, 2003).

Dengan bombardir informasi dari berbagai sumber yang digunakan oleh Amerika Serikat, mereka diharapkan berhasil melakukan dua hal secara sekaligus. Pertama dengan terus menampilkan citra yang baik tersebut mereka memperkuat ikatan dengan mayoritas publik Muslim yang tidak anti Amerika. Di sisi lain program-program tersebut diharapkan akan melemahkan moral kelompok-kelompok Muslim anti Amerika sehingga daya rusak mereka dapat terus diminimalisir. Melalui media massa Barat, pemerintah Amerika Serikat dan Inggris juga sering melakukan tekanan terhadap media untuk mengurangi kemungkinan media massa digunakan oleh pihak teroris sebagai alat propaganda (penyebaran video dari teroris dan lain sebagainya).

Selain yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat sebagai salah satu kekuatan politik dan ekonomi terkuat di dunia. Diplomasi publik juga dapat dilakukan dalam cakupan yang mungkin tidak bersifat global dan disesuaikan dengan kemampuan politik dan ekonomi yang dimiliki suatu negara. Contohnya seperti yang telah disampaikan pada bagian pendahuluan yaitu diplomasi publik yang dilakukan oleh Korea Selatan dengan menggunakan aspek budaya dan juga kekuatan dunia pendidikannya yang cukup baik. Atau diplomasi publik yang dijalankan oleh Australia terhadap negara-negara Asia dan Pasifik melalui program bantuan pendidikan Ausaid yang menurut saya sangat meningkatkan citra dan posisi Australia bagi negara-negara Asia dan Pasifik. Hasil dari diplomasi publik tersebut secara langsung meningkatkan minat publik internasional untuk berkunjung ke negara tersebut dan menghasilkan pemasukan finansial yang cukup besar di bidang pariwisata. Dalam jangka panjang pertukaran antar publik negara-negara tersebut akan semakin mempererat hubungan publik antar negara dan semakin mempermudah persuasi politis untuk kepentingan nasional negara-negara pengirim pesan terhadap pemerintah negara-negara penerima pesan.

Sedangkan penerapannya di Indonesia, seperti halnya sebagian besar aspek program pembangunan pemerintah lainnya. Pelaksanaan diplomasi publik di Indonesia dapat dikatakan relatif belum digarap dengan baik dengan kata lain masih terbengkalai. Indonesia masih menjadi publik atau sasaran diplomasi publik dari negara lain seperti Amerika Serikat, Australia dan sejumlah negara lainnya. Negara-negara yang saya anggap strategis bagi Indonesia seperti Malaysia, Australia, Singapura, China, Arab Saudi, Jepang dan Amerika Serikat serta negara-negara Eropa Barat lainnya cenderung berperan sebagai pemasok diplomasi publik bagi Indonesia. Jika dilihat dari sejumlah film Hollywood atau film luar[1] yang pernah menyebutkan atau menceritakan negara Indonesia dapat disimpulkan bahwa negara kita dicitrakan sebagai negara dunia ke tiga yang “sangat tidak terjangkau” dengan tingkat sosial jauh di bawah mereka dengan kekacauan politik yang brutal.

Pemerintah dalam menghadapi pencitraan yang menurut saya tidak berimbang tersebut tidak mampu menyajikan informasi yang dapat menyeimbangkan publik dunia atau publik sejumlah negara tertentu yang kita anggap sebagai negara-negara strategis. Dalam menyikapi beredarnya produksi film yang dapat merusak citra bangsa tersebut, pada masa lalu (Orde Baru) pemerintah hanya mampu melakukan pelarangan diputarnya sebagian film-film tersebut di Indonesia. Padahal banyak cara lain yang dapat dilakukan selain pelarangan, seperti produksi film atau konten budaya yang menonjolkan keunggulan budaya dan keindahan negeri, mendorong dan mendukung industri budaya Indonesia untuk dapat maju dan mampu bersaing di level internasional sehingga setidaknya dapat memberikan masukan bagi publik negara-negara tetangga tentang citra Indonesia. Selain itu dalam dunia pendidikan tinggipun sebagai salah satu alat diplomasi publik, Indonesia masih tertinggal bahkan dibandingkan Malaysia, sehingga memang sulit bagi dunia pendidikan tinggi untuk dijadikan salah satu alat untuk meningkatkan citra negara di publik luar. Bahkan dengan posisi Indonesia saat ini sebagai pengirim tenaga kerja buruh dan pembantu ke sejumlah negara seperti Malaysia, Hong Kong, Singapura dan Arab Saudi. Dengan berbagai masalah mismanajemen yang melingkupinya, maka semakin lengkaplah posisi Indonesia sebagai negara dengan citra yang kurang baik bagi publik di negara tersebut. Posisi Indonesia tersebut sesungguhnya sangat membutuhkan terobosan yang progresif untuk dapat segera mengejar ketertinggalan di antaranya melalui penguatan diplomasi publik pemerintah.

Melihat permasalahan citra yang dihadapi Indonesia, sebenarnya potensi untuk menghadapi atau memperbaiki citra tersebut cukuplah banyak. Di bidang budaya, musik dan film karya industri Indonesia seringkali dikatakan lebih maju dari pada sejumlah negara tetangga sehingga dengan dukungan yang baik atau dukungan mediasi kerjasama internasional diharapkan dapat meningkat ke level selanjutnya terutama pada level regional Asia Tenggara dan juga Pasifik. Sedangkan permasalahan TKI pada dasarnya adalah tingkat pendidikan yang masih rendah, manajemen yang tidak jelas dan korupsi sehingga rekrutmen tidak dilakukan dengan profesional, penuh dengan penyelewengan wewenang dan suap-menyuap sehingga menghasilkan rekrutan yang ala kadarnya, human trafficking dan menimbulkan masalah di negara-negara tujuan dengan perlindungan hukum yang lemah. Yang perlu dilakukan pemerintah dalam hal ini adalah perbaikan sistem yang menyeluruh dan penegakan hukum yang tegas sehingga tidak ada lagi TKI illegal yang mempermalukan/merepotkan negara secara keseluruhan.

Potensi bidang kebudayaan, dalam bidang kebudayaan sebenarnya Indonesia memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam dan menarik untuk dapat ditampilkan sebagai daya tarik untuk meningkatkan daya saing dengan negara-negara pengekspor budaya lainnya. Dalam khasanah budaya tradisional Indonesia memiliki kekayaan budaya yang unik dan berkualitas cukup tinggi untuk dapat dipasarkan setidaknya di level kawasan regional dalam rangka meningkatkan kunjungan pariwisata dan juga meningkatkan citra bangsa secara umum apalagi didukung dengan kondisi geografis Indonesia yang beriklim tropis dengan pemandangan alam yang sangat indah. Dalam hal seni tari, musik, lukis dan berbagai bentuk seni tradisional lainnya seperti kekayaan budaya di bidang seni batik, ukir dan seni lainnya, Indonesia memiliki modal keragaman dan kualitas yang lebih dari cukup untuk dapat dikemas dan disebarkan kepada publik negara lain. Kekayaan ini bahkan sering diklaim oleh negara tetangga sebagai kekayaan milik negara mereka. Untuk itu perlu kerja keras pemerintah Indonesia dalam jangka pendek untuk menjaga kekayaan budaya tradisional Indonesia melalui penguatan penerapan hak kekayaan intelektual (HAKI) terhadap produk-produk budaya unggulan. Kemudian dalam jangka menengah dan panjang perlu penguatan dan pelestarian budaya tradisional Indonesia yang unggul untuk kemudian dipasarkan ke publik internasional setidaknya pertama-tama untuk menarik wisatawan dan jangka panjang meningkatkan pemahaman publik internasional terhadap budaya Indonesia.

Dalam bidang budaya populer, potensi ini juga cukup besar apalagi jika dikomparasikan dengan kekuatan-kekuatan regional seperti di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik. Industri musik dan film populer Indonesia sejak awal pertumbuhannya sebenarnya memiliki tempat tersendiri dan baik terutama bagi masyarakat Indonesia sendiri (Marbun, 2014). Hal ini adalah modal yang cukup kuat untuk dikembangkan agar mampu bersaing dalam level regional dan global seperti yang telah dilakukan oleh budaya populer Jepang, China, India, Korea Selatan dan Australia bahkan sekarang oleh industri kreatif dari Thailand yang mulai menguat di level regional. Pemerintah bersama masyarakat sipil penggiat industri kreatif perlu merumuskan strategi yang komprehensif berserta pelaksanaannya secara konkrit terkait penguatan industri kreatif sebagai salah satu aspek dalam budaya yang akan menguatkan diplomasi publik dan juga citra bangsa di publik internasional. Contoh masalah dalam industri kreatif yang sangat mengganggu perkembangannya saat ini adalah masalah HAKI baik pada industri musik dan film yang mengalami gangguan hebat dari aktifitas pembajakan. Selain itu dunia industri seni desain dan karya kreatif lainnya juga rawan plagiarisme sehingga menurunkan motivasi pekerja seni untuk menghasilkan karya yang berkualitas tinggi.

Di bidang pendidikan tinggi, jika dilihat dari indikator peringkat pendidikan tinggi di dunia seperti di berbagai situs peringkat universitas dunia. Terlihat bahwa kondisi pendidikan tinggi Indonesia masih jauh di bawah Australia, Singapura bahkan Malaysia. Peringkat paling tinggi universitas Indonesia adalah di kisaran peringkat 500 sampai 600 dunia, padahal Malaysia mampu meningkatkan kualitas sejumlah universitasnya sampai ke peringkat yang jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Pemerintah dan publik penggiat pendidikan perlu melakukan terobosan yang juga progresif untuk segera meningkatkan kualitas pendidikan tinggi kita untuk dapat setidaknya bersaing atau bahkan menjadi rujukan bagi publik pendidikan internasional setidaknya di kawasan Asia Tenggara.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa diplomasi publik sesungguhnya merupakan bagian penting dari aktifitas komunikasi dan politik internasional suatu negara. Aktifitas politik dan juga ekonomi internasional tidak melulu mengandalkan keberhasilannya pada perhitungan politik dan ekonomi semata, terdapat aspek sentimen-sentimen publik yang juga perlu digarap dengan sebaik-baiknya untuk menghasilkan keluaran program diplomasi yang berhasil. Diplomasi publik tidak hanya penting bagi negara yang sedang menghadapi masalah dengan publik global seperti program demokratisasi global, perang melawan teror dan berbagai program komunikasi global oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Tetapi juga bagi negara-negara seperti Indonesia untuk setidaknya menggarap publik internasional kawasan regional atau publik di negara-negara yang dianggap strategis secara politik dan ekonomi. Hasil dari diplomasi publik yang baik secara langsung akan menghasilkan peningkatan kunjungan wisata dan ikatan perdagangan yang lebih intens sedangkan secara jangka panjang akan meningkatkan kedekatan publik antar negara yang pada akhirnya akan mempermudah proses politik dan komunikasi antar negara.

Pemerintah dan bangsa Indonesia sekali lagi masih cenderung lalai dalam menggarap aspek ini. Hal ini mungkin disebabkan masih belum kuatnya fondasi politik dan ekonomi Indonesia untuk dapat diarahkan pada peningkatan berbagai aspek diplomasi publik atau citra negara seperti penguatan bidang kebudayaan baik tradisional dan juga populer termasuk di dalamnya adalah peningkatan kualitas dunia olahraga, penguatan kualitas pendidikan tinggi dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat secara umum. Namun jika melihat perkembangan di negara lain terutama yang sangat mencolok adalah lompatan yang dilakukan oleh Korea Selatan yang di masa-masa awal kemerdekaannya nyaris sama tingkatannya dengan Indonesia namun dalam perjalanan selanjutnya mampu bersaing dengan negara-negara industri maju di segala bidang bahkan dalam beberapa bidang seperti industri elektronik dan otomotifnya dapat menyalip kekuatan besar seperti Jepang dan Eropa Barat, maka bukan suatu hal yang mustahil bagi bangsa Indonesia untuk melakukan keberhasilan yang sama atau bahkan lebih. Perlu perubahan sikap bangsa dalam menjalani pembangunan dan perlu studi komparasi lebih lanjut untuk memahami bagaimana Korea Selatan mampu berubah dari negara berkembang menjadi negara maju yang sangat disegani di dunia.

Penulis: Rahmat Purwono
Referensi
Asmoro, W. (2013, Mei 13). www.widiasmoro.com/2013/05/13/belanja-lagu-pengguna-itunes. Retrieved Juni 17, 2014, from www.widiasmoro.com.
compusiciannews.com. (2014, Juni 6). compusiciannews.com/mobile/default#/mobile/detail/1191. Retrieved Juni 17, 2014, from compusiciannews.com.
Dunn, S. M. (Director). (2008). Global Metal [Motion Picture].
Ham, P. V. (2003). War, Lies and Videotape: Public Diplomacy and the USA's War on Terrorism. Security Dialogue , 428-444.
Liang, I. C. (2013). Industri Kreatif dan Ekonomi Sosial di Indonesia: Permasalahan dan Usulan Solusi Dalam Menghadapi Tantangan Global. Prosiding The 5th International Conference on Indonesian Studies: "Ethnicity and Globalization" (pp. 304-322). Yogyakarta: ICSSIS.
Marbun, J. (2014, Maret 12). m.republika.co.id/berita/senggang/musik/14/03/12/n2b3x5-menparekraf-industri-musik-berperan-bagi-perekonomian-nasional. Retrieved Juni 17, 2014, from m.republika.co.id.
McDowell, M. (2008). Public Diplomacy at the Crossroads: Definitions and Challenges in an "Open Source" Era. The Fletcher Forum of World Affairs , 7-15.
musikologi.com. (2014, Juni 17). musikologi.com/mengintip-sejarah-industri-rekaman-di-indonesia-bag-1. Retrieved Juni 17, 2014, from musikologi.com.
Oppenheimer, J. (Director). (2012). The Act of Killing [Motion Picture].
Phillip G. Altbach, J. S. (2012). The Road to Academic Excelence; Pendirian Universitas Riset Kelas Dunia. (R. Purwono, Trans.) Jakarta: Salemba Humanika.
Ratican, R. (2005). Pengaruh Kemerdekaan Timor Leste terhadap Hubungan Australia dengan Indonesia. Malang: Australian Consortium for "In Country" Indonesian Study (ACICIS).
Seib, P. (2009). Toward A New Public Diplomacy. New York: Pallgrave Macmillan.
Stone, O. (Director). (2006). Savages [Motion Picture].
Weir, P. (Director). (1982). The Year of Living Dangerously [Motion Picture].
Zaharna, R. S. (2010). Battle to Bridges: US Strategic Communication and Public Diplomacy after 9/11. New York: Pallgrave Macmillan.


[1] Penulis memperhatikan sejumlah film luar yang setidaknya menyebutkan Indonesia cenderung menganggap negara ini sebagai negara terbelakang dengan kondisi sosial politik yang menyedihkan. Contohnya adalah film Savages yang disutradarai Oliver Stone (Stone, 2006), The Act of Killing film dokumenter karya Joshua Oppenheimer tentang keganasan Pemuda Pancasila menghabisi PKI di tahun 60-an (Oppenheimer, 2012), atau film The Year of Living Dangerously yang dibintangi oleh Mel Gibson dan Sigourney Weaver dan sejumlah film lainnya (Weir, 1982).

1 komentar:

  1. 5 sure wins for sure wins in merit casino
    5 sure wins for sure wins in merit casino. Play online slots today. Win big 메리트카지노총판 today with 4x kadangpintar multiplier, multipliers, 카지노 scatter and more.

    BalasHapus