Pemilu 1955
Fungsi lembaga
penyelenggara pemilihan umum (pemilu) di Indonesia dimulai sejak persiapan pemilu pertama pada tahun 1955, walaupun demikian dasar pemikiran tentang perlunya
pelaksanaan pemilu telah dicetuskan oleh pendiri negara sejak awal kemerdekaan
dengan dikeluarkannya Maklumat X atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta
tanggal 3 November 1945 tentang anjuran pembentukan partai politik dan rencana
pelaksanaan pemilu pada bulan Januari 1946, namun dikarenakan kondisi negara
yang masih belum stabil maka pemilu tidak juga dilaksanakan sampai tahun 1955.
Pada pemilu 1955 fungsi penyelenggara
pemilu di tingkat pusat dilaksanakan
oleh Panitia
Pemilihan Indonesia
yang beranggotakan lima sampai sembilan orang dengan masa
kerja empat tahun, dibentuk berpedoman pada Surat Edaran Menteri Kehakiman. Di
bawahnya terdapat Panitia Pemilihan di tingkat daerah pemilihan (dapil – dalam
konteks saat ini dapil dapat disetarakan dengan wilayah regional yang terdiri
dari beberapa provinsi) yang beranggotakan lima sampai tujuh orang dengan masa
kerja juga empat tahun. Kemudian di tingkat kabupaten dibentuk Panitia
Pemilihan Kabupaten dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri untuk membantu
pelaksanaan pemilu di kabupaten. Dan yang terakhir di tingkat kecamatan,
Menteri Dalam Negeri membentuk Panitia Pemungutan Suara dengan jumlah anggota
minimal lima orang dan diketuai oleh Camat (Komisi Pemilihan Umum, 2010). Struktur panitia pemilihan di tingkat pusat dan tingkat
dapil pada pemilu 1955 sebagian besar berasal dari unsur pejabat/birokrasi
pemerintah dibantu unsur partai politik (Prabawati, 2012).
Pemilu 1955 di Kabupaten Sleman menghasilkan komposisi perolehan
suara pemilihan anggota DPR meliputi:
1.
Partai Nasional Indonesia
(PNI) memperoleh 22%.
2.
Partai Gerinda 18%.
3.
Partai Komunis
Indonesia (PKI) 17%
4.
Majelis Syuro
Muslimin (Masyumi) 14%
5.
Nahdlatul Ulama (NU)
13%
6.
dan 16% sisanya
direbut oleh partai-partai lainnya .
Sedangkan untuk pemilihan
anggota Konstituante meliputi:
1.
PNI 26%.
2.
Gerinda 17%.
3.
PKI 16%.
4.
Masyumi 13%.
5.
NU 13%.
6.
Dan sisanya 14%
direbut oleh partai-partai lainnya (Pemilu Asia, 2009).
Yang cukup menarik dalam uraian
ini adalah adanya partai Gerinda yang tidak ada datanya di daerah lainnya. Ternyata
Gerinda adalah partai politik lokal di DI Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah, partai
ini merupakan perkembangan dari organisasi Pakempalan Kawula Ngayogyakarta yang
diprakarsai oleh keluarga Keraton Yogyakarta (Prabawati, 2012).
Di masa ini belum ada pemilihan presiden dan wakil
presiden secara langsung serta pemilihan kepala daerah secara langsung. Kepala
daerah Sleman di masa itu di antaranya adalah KRT Dipodiningrat dan KRT
Prawirodiningrat (Trisihono, 2011), tidak ditemukan bagaimana tatacara
pemilihan kepala daerah di masa itu, namun jika melihat adanya gelar bangsawan
yang dimiliki oleh dua kepala daerah Sleman tersebut, kemungkinan bahwa mereka
adalah hasil penunjukan dari struktur pemerintah di atasnya atau dari pihak
keraton Yogyakarta.
Pada tahun 1957 dan 1958 terdapat sejumlah pemilihan
perwakilan di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) dan Dewan Perwakilan
Rakyat Provinsi (DPRP) (Pemilu Asia, 2009). Namun saya tidak berhasil menemukan
data hasil pemilihan perwakilan daerah tersebut untuk wilayah Kabupaten Sleman.
Kemungkinan wilayah Sleman belum memiliki perwakilan daerah atau masih
tergabung dengan pemerintah Jawa Tengah dan atau mungkin bentuk pemerintahannya
masih mengikuti model pemerintahan dari Keraton Yogyakarta.
Pemilu 1971
Mulai dibentuk suatu lembaga penyelenggara pemilu bernama
Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri
untuk melaksanakan Pemilu 1971 yang kemudian membentuk
Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) di tingkat pusat, Panitia Pemilihan Daerah
Tingkat I (PPD I) di tingkat provinsi, PPD Tingkat II di tingkat kabupaten. Di
tingkat kecamatan dibentuk Panitia Pemungutan Suara (PPS) sedangkan di tingkat
desa dan lurah dibentuk Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Untuk
melaksanakan pemungutan suara dibentuk juga Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara (KPPS). Selain itu untuk warga negara Indonesia yang berada di luar
negeri, pemerintah membentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Panitia
Pemungutan Suara Luar Negeri (PPSLN) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara Luar Negeri (KPPSLN) yang semuanya bersifat ad hoc. Pelaksanaan pemilu di
masa ini relatif lebih rapi dalam hal struktur dibandingkan dengan pemilu
pertama sebagai perbaikan dari pemilu sebelumnya.
Pada periode pemilu 1971 di DI Yogyakarta mendapatkan
jatah 7 kursi di DPR dan hasil perolehan yang dicapai para kontestan adalah Golongan
Karya (Golkar) mendapatkan empat kursi dan Partai NU, Parmusi serta PNI
masing-masing mendapatkan satu kursi. Dalam penelusuran saya, belum ditemukan
data perolehan di level DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Sleman
Pemilu 1977 sampai dengan pemilu 1997
Secara umum penyelenggara pemilu masih sama dengan pemilu
1971. Pemilu di masa ini sudah memiliki struktur yang cukup kuat diisi oleh
birokrasi pemerintah yang berkuasa dan kekuatan militer (ABRI) yang dikaryakan
di jabatan sipil strategis sehingga pemilu berlangsung nyaris secara rutin dan
terlihat stabil. Namun bagi sebagian pihak rutinitas dan kestabilan ini lebih
disebabkan oleh kemampuan pemerintah mengelola atau merekayasa penguasaan
informasi serta kemampuan mengendalikan gejolak politik secara represif yang
membuat publik tidak berdaya dalam menyampaikan aspirasi yang berbeda.
Pada Pemilu 1977 di Kabupaten Sleman saya belum berhasil menemukan data detail perolehan suara, namun pemilu di level DI Yogyakarta yang mendapat alokasi 6 kursi DPR, komposisi perolehan suara adalah Golkar mendapatkan 4 kursi dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang fusi dari partai-partai nasionalis dan partai non Islam serta Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari partai-partai Islam mendapatkan satu kursi. Secara persentase perolehan Golkar adalah 57%, PPP 23% dan PDI 20% (Pemilu Asia, 2009).
Pada Pemilu 1982 di Kabupaten Sleman, saya juga belum menemukan hasil perolehan di level Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Kabupaten Sleman dan Provinsi DI Yogyakarta, namun dalam Pemilu DPR di tingkat DI Yogyakarta yang memiliki alokasi 6 kursi, hasil perolehan kursi adalah Golkar mendapatkan 4 kursi, PPP dan PDI masing-masing mendapatkan 1 kursi. Sedangkan secara persentase hasil perolehan Golkar adalah 61%, PPP 23% dan PDI 16%. Hal ini menunjukkan penurunan perolehan PDI sebesar 4% dan sebaliknya Golkar mengalami peningkatan perolehan hasil sebanyak 4% (Pemilu Asia 2009).
Pemilu 1987, saya masih belum menemukan hasil pemilu khusus untuk daerah Sleman namun untuk pemilihan DPR di wilayah DI Yogyakarta menghasilkan Golkar mendapatkan 4 kursi, PPP dan PDI masing-masing mendapatkan satu kursi. Pada Pemilu kali ini, perolehan persentase suara Golkar meningkat menjadi 70%, PDI dan PPP masing-masing mendapatkan 15% suara (Pemilu Asia 2009). Hasil pemilu ini menunjukkan semakin kuatnya konsolidasi politik yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru melalui Golkar.
Pemilu 1992,
Pada Pemilu 1977 di Kabupaten Sleman saya belum berhasil menemukan data detail perolehan suara, namun pemilu di level DI Yogyakarta yang mendapat alokasi 6 kursi DPR, komposisi perolehan suara adalah Golkar mendapatkan 4 kursi dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang fusi dari partai-partai nasionalis dan partai non Islam serta Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari partai-partai Islam mendapatkan satu kursi. Secara persentase perolehan Golkar adalah 57%, PPP 23% dan PDI 20% (Pemilu Asia, 2009).
Pada Pemilu 1982 di Kabupaten Sleman, saya juga belum menemukan hasil perolehan di level Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Kabupaten Sleman dan Provinsi DI Yogyakarta, namun dalam Pemilu DPR di tingkat DI Yogyakarta yang memiliki alokasi 6 kursi, hasil perolehan kursi adalah Golkar mendapatkan 4 kursi, PPP dan PDI masing-masing mendapatkan 1 kursi. Sedangkan secara persentase hasil perolehan Golkar adalah 61%, PPP 23% dan PDI 16%. Hal ini menunjukkan penurunan perolehan PDI sebesar 4% dan sebaliknya Golkar mengalami peningkatan perolehan hasil sebanyak 4% (Pemilu Asia 2009).
Pemilu 1987, saya masih belum menemukan hasil pemilu khusus untuk daerah Sleman namun untuk pemilihan DPR di wilayah DI Yogyakarta menghasilkan Golkar mendapatkan 4 kursi, PPP dan PDI masing-masing mendapatkan satu kursi. Pada Pemilu kali ini, perolehan persentase suara Golkar meningkat menjadi 70%, PDI dan PPP masing-masing mendapatkan 15% suara (Pemilu Asia 2009). Hasil pemilu ini menunjukkan semakin kuatnya konsolidasi politik yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru melalui Golkar.
Pemilu 1992,
Pemilu
1999
Sebagai hasil dari gerakan reformasi 1998 dalam pemilu
kali ini terjadi perubahan yang cukup signifikan dibandingkan dengan pemilu-pemilu
sebelumnya yaitu penyelenggara pemilu mulai dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
sebagai pengganti LPU. KPU dibentuk oleh presiden dan diisi
oleh utusan partai berjumlah 48 orang
ditambah utusan pemerintah sebanyak lima orang, KPU juga dibantu oleh
Sekretariat Umum KPU. Struktur panitia pemilihan umum di bawahnya sama dengan
pemilu 1977-1997 kecuali penyelenggara pemilu tingkat kecamatan yang berubah
dari PPS menjadi penyelenggara pemilihan tingkat kecamatan (PPK). Susunan
lengkap penyelenggaran pemilu 1999 adalah PPI, PPD I, PPD II, PPK, PPS dan KPPS
namun komposisi anggotanya diisi oleh utusan partai, utusan pemerintah dan
tokoh masyarakat. Komposisi yang berbeda tersebut menghasilkan pola komunikasi
yang berbeda dibanding lembaga penyelenggara pemilu sebelumnya. Di masa ini
pemilu dilaksanakan dengan semangat keterbukaan yang tinggi dan euforia
demokrasi yang begitu kuat menghasilkan partisipasi masyarakat yang sangat
tinggi yaitu sekitar 90%.
Pemilu
2004
Pemilu 2004 dilaksanakan oleh
penyelenggara pemilu
yang disebut dengan nama Komisi
Pemilihan Umum (KPU) di
tingkat pusat, KPU provinsi di
tingkat provinsi dan KPU kabupaten/kota di tingkat kabupaten/kota. Sedangkan struktur
penyelenggara pemilu di bawahnya sama dengan pemilu sebelumnya yaitu PPK di
tingkat kecamatan, PPS di tingkat desa/kelurahan dan KPPS di tingkat TPS. Di
masa ini KPU baik di tingkat pusat, provinsi
dan kabupaten, secara sederhana dibagi menjadi dua
bagian besar yaitu
komisioner sebagai pimpinan dan pengambil keputusan serta sekretariat KPU yang merupakan struktur
birokrat yang berfungsi mendukung kerja KPU secara administratif. Komisioner
merupakan hasil seleksi terbuka oleh tim seleksi independen dengan masa jabatan
lima tahun. Sebagian
besar hasil seleksi tersebut menghasilkan komisioner KPU dari kalangan
akademisi,
lembaga swadaya masyarakat, pensiunan pegawai
negeri sipil serta kalangan swasta. Perubahan dari KPU di pemilu 1999 sebelumnya
yang terdiri dari perwakilan partai, utusan pemerintah dan tokoh masyarakat
menjadi KPU yang non partisan menghasilkan dinamika yang cenderung lebih
stabil, manajemen kepemiluan yang semakin membaik dengan independensi yang
masih cukup terjaga.
Mulai tahun 2003 di masa persiapan Pemilu 2004 inilah
penyelenggara pemilu di Kabupaten Sleman resmi bernama KPU Kabupaten Sleman
yang dipimpin oleh lima komisioner yang dipimpin oleh ketua Abdul Haris dengan
anggota terdiri dari Suhirman, Suryatiningsih Budi Lestari, Djajadi dan Hamdan
Kurniawan. KPU Kabupaten Sleman ini didukung oleh satuan kerja (satker) eselon
III Sekretariat KPU Kabupaten Sleman yang terdiri dari satu pejabat eselon III
dan empat pejabat eselon IV serta staf yang diisi oleh personil PNS diperbantukan
dari Pemerintah Kabupaten Sleman.
Selain itu di tahun 2005 dan berikut rangkaiannya, untuk
pertama kalinya mulai diadakan pemilu kepala daerah (pemilukada) di berbagai
daerah termasuk Kabupaten Sleman. Pemilukada ini juga dilaksanakan oleh KPU di
daerah dengan struktur panitia pelaksana yang sama dengan pemilu legislatif
(pileg) dan pemilu presiden dan wakil presiden (PPWP/pilpres). Dasar peraturan
yang digunakan dalam pemilukada ini adalah undang-undang tentang pemerintah
daerah. Anggaran yang digunakan berasal dari pemerintah daerah setempat yang tata
cara penggunaannya merujuk pada peraturan menteri dalam negeri. Penggunaan
anggaran pemerintah daerah ini memiliki banyak keterbatasan dikarenakan
kekuatan anggaran masing-masing daerah berbeda-beda dan cenderung lebih rendah
dari anggaran pemerintah pusat.
Pemilu 2009
Merupakan pemilu pertama yang dilaksanakan oleh lembaga KPU
yang telah bersifat nasional, tetap dan mandiri. Perubahan status KPU ini
berdasarkan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap
dan mandiri. Pemilu di tingkat nasional dilaksanakan oleh KPU, di provinsi
dilaksanakan oleh KPU provinsi dan di kabupaten/kota di laksanakan oleh KPU
kabupaten/kota. Sementara struktur di bawahnya seperti PPK, PPS dan KPPS masih
bersifat adhoc. Keanggotaan KPU di
tingkat pusat, provinsi dan kabupaten merupakan hasil seleksi terbuka yang
komposisinya mirip dengan anggota KPU pada pemilu 2004 yaitu dari kalangan
akademisi, LSM, swasta, pensiunan PNS, PNS aktif dan juga dari penyelenggara
pemilu periode sebelumnya.
KPU Kabupaten Sleman pada Pemilu 2009 dipimpin oleh lima
komisioner yang merupakan hasil seleksi terbuka di tahun 2008, terdiri dari
Djajadi sebagai ketua, Hazwan Iskandar Jaya, Hamdan Kurniawan, Suryatiningsih
Budi Lestari dan Lukmanul Hakim sebagai anggota. Dalam Pemilu 2009 komisioner
KPU Kabupaten Sleman tetap didukung oleh lembaga birokrasi setingkat eselon III
yaitu Sekretariat KPU Kabupaten Sleman dengan komposisi staf yang sedikit
berbeda karena Sekretariat Jenderal KPU sejak tahun 2009 mulai merekrut staf
PNS secara langsung yang disebut juga sebagai PNS organik untuk ditempatkan di
seluruh sekretariat KPU di daerah termasuk di Kabupaten Sleman.
Di periode ini, menurut sejumlah riset terkait dengan
kinerja KPU, kondisi pemilu dan KPU secara umum semakin membaik ditandai dengan
struktur dan posisi yang semakin jelas dalam tata negara dan tata pemerintahan.
Setelah pemilu 2009, pada tahun 2010 dan seterusnya KPU juga melaksanakan rangkaian
pemilukada langsung di berbagai daerah dengan struktur panitia yang sama dengan
pileg dan pilpres. Seperti pemilukada tahun 2005, pemilukada 2010 dan
rangkaiannya juga dilaksanakan dengan dasar peraturan undang-undang tentang
pemerintahan daerah dan anggaran pelaksanaannya masih diambil dari anggaran
pemerintah daerah setempat.
Pemilu 2014
Dalam hal penyelenggara, Pemilu 2014 relatif sama dengan
Pemilu 2009, KPU sesuai tingkatannya menyelenggarakan pemilu dengan struktur di
bawahnya berupa panitia adhoc yang sama seperti PPK, PPS dan KPPS. Proses
seleksi pimpinan KPU juga masih sama yaitu melalui seleksi terbuka pansel
independen yang menghasilkan komposisi pimpinan yang juga serupa yaitu dari
akademisi, LSM, mantan penyelenggara pemilu di berbagai level, birokrat dan
swasta.
Di masa ini KPU Kabupaten Sleman di pimpin oleh Ahmad
Shidqi sebagai ketua dengan anggota terdiri dari Indah Sri Wulandari, Imanda
Julianto, Haryanta dan Aswino Wardhana. Mereka merupakan hasil seleksi terbuka
yang diadakan di tahun 2013 untuk masa bakti 2013-2018. Organisasi birokrasi
pendukung masih berbentuk sekretariat eselon III namun dengan komposisi staf
PNS organik yang semakin besar.
Selanjutnya di tahun 2015 dan rangkaiannya (yaitu Pilkada
tahun 2017) juga dilaksanakan Pilkada serentak. Sedikit berbeda dengan
pemilukada 2010 dan rangkaiannya yang dilaksanakan dengan jadwal yang
berbeda-beda di masing-masing daerah, maka Pilkada 2015 dan 2017 ini
dilaksanakan secara serentak yaitu pada 9 Desember 2015 dan 15 Februari 2017.
Pilkada 2015 dilaksanakan oleh 9 provinsi dan 224 kabupaten serta 36 kota
termasuk Kabupaten Sleman, Gunungkidul dan Bantul (www.hukumonline.com, 2015). Sedangkan Pilkada
2017 dilaksanakan oleh 7 provinsi dan 76 kabupaten serta 18 kota termasuk Kota
Yogyakarta dan Kabupaten Kulonprogo (Tashandra, 2016). Pilkada serentak yang dilaksanakan secara
bertahap ini merupakan proses awal penyatuan semua kegiatan pemilu yang
diproyeksikan akan dilaksanakan secara serentak sepenuhnya di pemilu-pemilu
yang akan datang. Dalam pilkada serentak ini struktur penyelenggara pemilu
masih sama dengan pilkada sebelumnya dan sumber pendanaannya juga masih
menggunakan anggaran pemerintah daerah melalui skema hibah kepada KPU setempat.
Pergeseran asas pemilu.
Selain dalam hal organisasional,
perjalanan penyelenggara pemilu juga mengalami pergeseran dalam hal nilai dan
filosofi atau asas pemilu sejak pemilu 1955 sampai dengan pemilu 2014.
Perubahan kata-kata dalam asas tersebut terkesan sepele namun dalam praktiknya
pelaksanaan pemilu dari masa Orde Lama kemudian Orde Baru dan di masa pasca
reformasi memiliki perbedaan dan perubahan perilaku yang cukup signifikan
terutama dalam hal akses informasi dan keterbukaan organisasi terhadap peran
serta publik.
Pada pemilu 1955 asas yang dipakai adalah: jujur, umum, berkesamaan, rahasia, bebas dan langsung. Asas jujur dalam hal ini berarti pemilu diadakan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Asas umum berarti semua warga negara yang telah memenuhi syarat dapat mengikuti pemilu. Asas berkesamaan berarti semua pemilih memiliki hak yang sama yaitu satu suara. Asas rahasia berarti pilihan pemilih merupakan rahasia pemilih dan dijamin tidak akan diketahui oleh pihak lain. Sedangkan asas bebas berarti bahwa pemilih bebas menentukan pilihan politiknya tanpa pengaruh, paksaan dari pihak lain dengan cara apapun. Dan yang terakhir yaitu asas langsung berarti bahwa pemilih menyalurkan pilihannya secara langsung tanpa perantara (Komisi Pemilihan Umum, 2010). Dengan asas-asas tersebut pemilu 1955 ini oleh banyak pihak dikatakan sebagai pemilu yang paling demokratis dan memiliki kualitas partisipasi yang baik (Kepustakaan Presiden, 2006).
Sedangkan pada pemilu 1971 sampai dengan pemilu 1997, asas yang dipakai berubah menjadi: langsung, umum, bebas, rahasia. Hal ini berarti kata asas jujur dan berkesamaan (adil) dihilangkan. Perubahan asas yang terkesan sepele ini yaitu hilangnya kata jujur dan berkesamaan menghasilkan sejarah pelaksanaan pemilu yang berbeda. Dibandingkan dengan pemilu 1955, pemilu di masa Orde Baru memiliki bentuk yang berbeda dari pemilu-pemilu demokratis lainnya. Bagi banyak pihak, pemilu pada masa ini dianggap tidak demokratis ditandai dengan peran pemerintah yang begitu besar di segala level penyelenggara pemilu, sebaliknya peran masyarakat atau publik sangat minim dan sekedar aksesoris semata (Kepustakaan Presiden, 2006). Hilangnya kata jujur dalam asas pemilu menghasilkan pemilu yang tidak jujur, penuh dengan rekayasa dan tidak terbuka bagi publik. Hilangnya kata berkesamaan atau adil dalam asas pemilu di masa ini juga menghasilkan pemilu yang tidak memperhatikan aspek keadilan. Pada pemilu 1997, penerapan asas pemilu tersebut mencapai puncaknya dan menghasilkan pemilu yang secara formal tampak sukses namun hanya dalam waktu satu tahun kemudian menjadi salah satu sebab datangnya bencana nasional yang sangat merugikan bangsa yaitu terjadinya kerusuhan politik dan suksesi pemerintahan yang tidak demokratis yang dikenal dengan kerusuhan Mei 1998 atau Reformasi 1998.
Sejak pemilu 1999 asas pemilu yang digunakan berubah kembali kepada asas pemilu 1955 dengan sedikit perubahan menjadi: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Perubahan asas ini menghasilkan praktek pelaksanaan pemilu yang berbeda dibanding periode sebelumnya. Pemilu tahun 1999 sampai sekarang cenderung terus meningkat kadar demokratisnya, walaupun tentu saja masih banyak terdapat masalah-masalah terutama terkait dengan teknis penyelenggaraan. Contoh permasalahan pada pemilu di masa ini yaitu kesalahan tata kelola keuangan pada kasus korupsi keuangan pemilu tahun 1999 yang membuat komisioner KPU pusat mendapatkan hukuman pidana. Selain itu masih terdapat berbagai kesalahan administratif terutama dalam hal tata kelola keuangan, kesalahan etis, kecurangan dan kekurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu di berbagai level pada pemilu 2004 sampai dengan pemilu 2014. Namun secara umum kesalahan-kesalahan tersebut tidak bersifat sistematis dan masif, sehingga pelaksanaan pemilu dianggap lebih demokratis, adil (fair) dan sesuai dengan aspirasi masyarakat (Arianto, 2011; Kalyanamitra, 2008).
Penulis: Rahmat Purwono
Sumber:
Arianto, B. (2011). Perbandingan Penyelenggaraan Pemilihan
Umum Legislatif Era Reformasi di Indonesia. Jurnal FISIP UMRAH , 126-140.
Kalyanamitra. (2008). Kualitas Perempuan Politisi di
Legislatif. Jakarta: Kalyanamitra.
Kepustakaan Presiden. (2006, Mei 17). http://kepustakaan- presiden.perpusnas.go.id/election/directory/election/?box=detail&id=23&from_box= list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status=. Dipetik Juli 3, 2015, dari perpusnas.go.id.
Komisi Pemilihan Umum. (2010, November). Modul 1: Pemilu
Untuk Pemula. Jakarta, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia. Diambil kembali dari
www.kpu.go.id.
Pemilu Asia. (2009). http://www.pemilu.asia/index.php?lang=ind&c=54&opt=1&s=109&id=3. Dipetik April 18, 2017, dari http://www.pemilu.asia: http://www.pemilu.asia/index.php?lang=ind&c=54&opt=1&s=109&id=3
Pemilu Asia. (2009). http://www.pemilu.asia/index.php?lang=ind&c=54&opt=1&s=82&id=3. Dipetik April 18, 2017, dari http://www.pemilu.asia: http://www.pemilu.asia/index.php?lang=ind&c=54&opt=1&s=82&id=3
Prabawati, S. P. (2012). Partai Lokal dalam Pemilu 1955
(Gerinda dalam Pemilihan Umum 1955 di Yogyakarta). Solo: Jurusan Sejarah UNS Solo.
Tashandra, N. (2016, Februari 15). http://nasional.kompas.com/read/2016/02/15/14034831/Ini.101.Daerah.yang.Akan.G elar.Pilkada.2017?page=all. Dipetik Februari 16, 2017, dari kompas.com: http://nasional.kompas.com/read/2016/02/15/14034831/Ini.101.Daerah.yang.Akan.Ge lar.Pilkada.2017?page=all
Trisihono. (2011, November 21). http://trisihono.staff.uii.ac.id/2011/11/21/sejarah- kabupaten-kota-di-diy/. Dipetik April 18, 2017, dari
http://trisihono.staff.uii.ac.id: http://trisihono.staff.uii.ac.id/2011/11/21/sejarah-kabupaten-kota-di-diy/
www.hukumonline.com. (2015, April 13). http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt552b941df0c5f/pelaksanaan-pilkada- serentak-digelar-9-desember-2015. Dipetik Februari 16, 2017, dari www.hukumonline.com: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt552b941df0c5f/pelaksanaan-pilkada- serentak-digelar-9-desember-2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar