Diplomasi
publik sebagai bagian dari aktifitas politik internasional suatu negara
merupakan salah satu aspek penting bagi keberhasilan lobi politik internasional
pemerintah atau negara Indonesia. Jika pemerintah hanya mengandalkan diplomasi
formal antar departemen luar negeri atau antar institusi formal negara maka
proses lobi tersebut akan sangat bersifat politis dan formal serta kurang
mengakomodir berbagai sentimen publik yang sebenarnya mungkin saja sangat
berpengaruh terhadap keputusan negara lain dalam menentukan langkah politik
yang berpengaruh bagi kepentingan nasional kita. Contoh yang paling signifikan
dalam kasus ini adalah pada saat proses dimasukkannya Timor Leste sebagai
bagian dari negara Indonesia. Dalam proses tersebut pemerintah yang otoriter cenderung
hanya mengandalkan kesepakatan politik internasional antar pemerintahan dengan
negara adikuasa pada masa itu yaitu dukungan dari Amerika Serikat untuk
memasukkan Timor Leste sebagai bagian Indonesia dengan sejumlah alasan di
antaranya ketakutan bahwa Timor Leste akan menjadi sumber ancaman faham Komunisme
bagi kawasan Asia Tenggara dan Australia (Ratican, 2005).
Dalam proses selanjutnya pemerintah Indonesia cenderung bergerak di ranah diplomasi antar lembaga antar negara yang itupun juga terbatas dalam arti tidak intensif dan kurang memperhatikan aspek publik atau diplomasi publik yang bisa jadi menentukan keputusan pemerintah negara lain. Mungkin hal ini dikarenakan sifat pemerintahan Indonesia di masa itu yang otoriter sehingga cenderung meniadakan atau menganggap remeh peran publik dalam mengambil keputusan. Sehingga ketika rezim di negara-negara pendukung “pendudukan” tersebut berubah seperti di Amerika Serikat dan juga penolakan publik Australia terhadap “aksi pendudukan” tersebut, menghasilkan kebijakan pemerintah yang berbeda yang kemudian “mencabut” dukungannya terhadap pendudukan Indonesia terhadap Timor Leste maka pemerintah Indonesia kesulitan untuk melakukan lobi dalam melawan tekanan dari publik internasional. Dalam perjalanannya akhirnya pemerintah Indonesia kehilangan legitimasi terhadap penguasaan Timor Leste dan pada akhirnya melepaskannya padahal sudah begitu banyak yang telah dikorbankan negara Indonesia dan juga sebagian warga Timor Leste yang pro integrasi untuk mewujudkan integrasi tersebut (Ratican, 2005).
Selain
itu diplomasi publik juga sangat efektif untuk meningkatkan citra bangsa
terhadap publik internasional yang dapat diistilahkan “branding” citra negara ke publik global. Penguasaan perangkat
diplomasi publik yang lebih kepada kekuatan budaya dan pendidikan sangat
mempengaruhi kualitas kemampuan suatu negara menyampaikan pesan-pesan dan mempengaruhi
publik negara lain yang pada akhirnya akan mempengaruhi kebijakan yang diambil
pemerintahannya. Kualitas budaya yang tinggi, baik budaya tradisional dan juga
budaya populer akan mempermudah suatu negara mengirimkan pesan-pesan kepada
negara lain, mempererat hubungan antar publik internasional dan pada akhirnya
mempermudah negara tersebut dalam mempengaruhi publik dan keputusan
pemerintahannya yang terkait dengan kepentingan nasional negara pengirim pesan.
Contoh peningkatan kekuatan baik budaya tradisional dan juga budaya populer
yang jauh melampaui perkembangan kekuatan budaya negara lain adalah penyebaran
budaya Korea Selatan melalui industri kreatif K-Pop. Industri kreatif Korea Selatan
tersebut meliputi film, musik dan pernak-pernik budaya lainnya, industri budaya
tersebut mampu menyebar luas bahkan mampu menyaingi atau melampaui budaya pop
Jepang dan China (Hong Kong) yang telah mapan sebelumnya dalam penetrasi dan
penyebarannya ke seluruh dunia. Penyebaran ini tentu mempengaruhi berbagai aspek
dalam politik internasional yang dijalani oleh Korea Selatan sehingga secara
langsung semakin banyak publik internasional yang ingin bersimpati, berkunjung
ke Korea Selatan dan meningkatkan kunjungan wisata dan pada akhirnya
menghasilkan pemasukan finansial yang cukup besar dan secara tidak langsung
setidaknya akan semakin mempermudah usaha-usaha politik internasional atau
penggalangan opini internasional yang dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan
terutama terkait konfliknya dengan Korea Utara (Liang, 2013).
Dalam
aspek kekuatan dunia pendidikan, potensi yang dimiliki Australia atau tetangga
terdekat kita Singapura dan Malaysia juga cenderung membuat citra negara mereka
lebih unggul daripada Indonesia sehingga lebih banyak masyarakat Indonesia yang
pergi belajar ke negara-negara tersebut dibandingkan jumlah warga negara-negara
tersebut yang memilih lembaga pendidikan tinggi di Indonesia. Fenomena tersebut
berkembang baik melalui program beasiswa dan juga dengan biaya masyarakat
sendiri sehingga menjadikan posisi publik Indonesia lebih cenderung sebagai
publik yang dipengaruhi (publik penerima pesan). Walaupun semakin meningkatnya
kualitas pendidikan publik Indonesia melalui program belajar ke pendidikan
tinggi unggulan di negara-negara tetangga tersebut juga menghasilkan
peningkatan kualitas pendidikan Indonesia, namun kualitas pendidikan Indonesia
sampai saat ini belum mampu bersaing atau bahkan menyalip kualitas pendidikan
bahkan jika dibandingkan dengan Malaysia. Sehingga dalam dunia pendidikan
Indonesia masih belum merupakan pusat rujukan pendidikan bahkan bagi negara-negara
di regional Asia Tenggara (Phillip G. Altbach, 2012) sehingga sulit bagi
Indonesia untuk mengembangkan diplomasi publik berbasis kekuatan pendidikan
tingginya.
Tulisan
ini akan memaparkan bagaimana konsep diplomasi publik tersebut dibedakan dari
diplomasi tradisional atau diplomasi formal antar lembaga negara dalam politik dan
komunikasi internasional. Kemudian dipaparkan sejumlah aspek yang berperan dan
penting dalam diplomasi publik dan praktek diplomasi publik yang sejak lama
dijalankan oleh pionir diplomasi publik yaitu negara adi kuasa seperti Amerika
Serikat serta negara-negara Eropa Barat. Dari paparan tersebut akan diperoleh
apa saja alasan, syarat-syarat keberhasilan dan hasil dari pelaksanaan
diplomasi publik untuk kemudian dikomparasikan dengan praktek yang telah
dijalankan oleh pemerintah Indonesia serta potensi apa saja yang dimiliki oleh
pemerintah dan seluruh komponen bangsa untuk meningkatkan peran diplomasi
publik sebagai media “branding” dan
peningkatan citra bangsa secara keseluruhan.
Menurut
Mark McDowell (2008) diplomasi publik merupakan istilah yang mulai berkembang
terutama sejak tahun 60-an untuk menggambarkan suatu proses yang pada awalnya
berupa ‘menginformasikan dan mempengaruhi publik di luar negeri atau di negara
lain’. Konsep ini juga memasukkan ‘berbagai dampak transnasional yang
ditimbulkan baik dari aktifitas pemerintah atau lembaga/pihak non pemerintah –
yang termasuk di dalamnya adalah budaya populer, fashion, olahraga, berita dan
internet’ yang secara langsung atau tidak mendukung kepentingan nasional negara
tersebut (kebijakan luar negeri, keamanan nasional, perdagangan, pariwisata dan
kepentingan nasional lainnya). Diplomasi publik adalah usaha sistematis dari
suatu pemerintah untuk mempengaruhi publik di negara lain tentang suatu isu
tertentu, tanpa unsur keterlibatan dan tujuan/niatan sistematis dari pemerintah
maka suatu fenomena persepsi publik asing terhadap suatu negara hanyalah
merupakan efek samping dari komunikasi internasional (McDowell, 2008).
Sedangkan
Peter Van Ham menyatakan bahwa diplomasi publik peran dan posisinya dalam
politik internasional telah terus berubah seiring waktu. Dalam hal tujuan,
diplomasi publik dirumuskan di antaranya sebagai usaha berkomunikasi secara
langsung dengan publik di luar negeri, merubah atau mengarahkan pemerintahan
negara lain dengan cara mempengaruhi warganya, atau menciptakan citra yang
diinginkan terhadap suatu kebijakan, aksi, sistem politik dan ekonomi dari
suatu negara. Dan akhirnya merumuskan elemen kunci diplomasi publik adalah
membangun hubungan baik secara pribadi dan instusional serta mengembangkan
dialog dengan publik luar negeri terkait dengan nilai-nilai ideal bersama,
tidak seperti diplomasi tradisional yang cenderung membahas isu-isu spesifik.
Diplomasi publik juga merupakan bagian dari diskursus yang melibatkan
komunikasi strategis dan ‘branding’ (Ham, 2003).
Menurut
Mark McDowell (2008) dalam pola diplomasi tradisional, pemerintah A berusaha
mempengaruhi pemerintah B melalui jalur formal diplomasi seperti perundingan,
diskusi dan berbagai pertemuan formal lainnya. Dalam pola diplomasi tradisional
ini masyarakat atau publik di antara kedua negara tidak dilibatkan. Sedangkan
dalam pola diplomasi publik pada gambar 2 pemerintah A selain mengadakan
pendekatan terhadap pemerintah B melalui jalur formal juga melakukan pendekatan
terhadap masyarakat B untuk menyampaikan pesan yang dimaksud (bisa jadi berupa
pameran atau pengiriman delegasi perdagangan, pertukaran pelajar, pameran
budaya dan lain-lain dengan tujuan peningkatan perdagangan, pariwisata,
investasi, pendidikan dan imigran) atau pesan-pesan tertentu lainnya terkait
nilai-nilai ideologis agar masyarakat B dapat memberikan tekanan kepada
pemerintah B untuk menyesuaikan diri dengan pemerintah A. Model diplomasi publik
ini contoh awalnya adalah usaha Inggris mempengaruhi publik Amerika Serikat
pada Perang Dunia untuk ikut menekan pemerintahnya agar memberikan bantuan
militer terhadap Sekutu di Eropa. Selain itu model ini dalam jangka panjang
meningkatkan hubungan baik antara dua negara tersebut. Kelemahan model
diplomasi publik ini adalah bahwa seringkali gerakan ini dengan mudah dikaitkan
dengan propaganda, karena pemerintah terlibat intens dalam menyampaikan pesan
ke masyarakat di negara lain.
Pada
gambar 3, pola diplomasi publik ini merupakan perbaikan dari pola diplomasi publik
sebelumnya yang dianggap berbau propaganda (gambar 2). Dalam diplomasi publik
ini menitikberatkan usaha bersama antara pemerintah dan publik (masyarakat
sipil) negara A untuk mempengaruhi pemerintah B dan juga mempengaruhi masyarakat
B untuk menekan pemerintahnya agar menerima dan terpengaruh oleh pesan yang
disampaikan oleh pemerintah A. Usaha-usaha ini seringkali dilakukan melalui
berbagai forum non politis seperti festival kesenian dan budaya, pameran seni,
tur film dan musik. Selain itu juga melalui berbagai forum diskusi LSM atau
pertukaran pelajar dan lain sebagainya. Dalam proses itu bisa saja tidak terlihat
ada campur tangan pemerintah, namun forum-forum tersebut merupakan diplomasi publik
jika dilakukan dengan kesadaran dan perencanaan menyeluruh oleh pemerintah atau
setidaknya diijinkan dan disetujui oleh pemerintah.
Mark
McDowell juga menyatakan bahwa diplomasi publik dapat berfungsi dengan baik di
antara dua atau lebih negara-negara demokratis karena pesan yang disampaikan
tidak akan mendapatkan banyak halangan dan publik yang dipengaruhi dapat
memberikan input kepada pemerintahannya tanpa halangan yang berarti pula. Pada
negara non demokrasi, diplomasi publik bekerja secara berbeda yaitu seringkali bersifat
propaganda dengan secara searah memperkuat kesadaran publik untuk meningkatkan
demokratisasi dan pada akhirnya publik melawan pemerintahan otoriter seperti
pada kasus di masa Perang Dingin di mana Voice of America menyiarkan
pesan-pesan demokratis untuk mendukung dan memperkuat nilai-nilai demokrasi dalam
publik negara-negara blok komunis, sehingga pada akhirnya publik dapat berperan
serta menggulingkan pemerintah otoriter tersebut. Saat ini usaha-usaha yang
sama juga sedang dikembangkan Amerika Serikat untuk mendukung perang mereka
melawan teror dengan melakukan pendekatan diplomasi publik terhadap
negara-negara berpenduduk Muslim.
Diplomasi
publik juga semakin menguat di era globalisasi saat ini dengan semakin majunya
teknologi informasi (Information Society), lalu-lintas komunikasi
internasional yang semakin marak dan perjalanan antar negara yang semakin
mudah. Sehingga pertukaran ide-ide antara pemerintah dan publik dari berbagai
negara semakin mudah terjadi. Namun dikarenakan adanya kesenjangan antar negara
terkait pertumbuhan ‘masyarakat informasi’ maka diperlukan pemetaan yang lebih
rinci untuk menerapkan strategi diplomasi publik yang paling efektif terhadap
masing-masing negara. Bagi negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan
China masalah dalam publik diplomasi adalah begitu banyaknya informasi yang
telah diakses oleh publik dunia tentang citra mereka sehingga sedikit saja
permasalahan muncul maka akan mempersulit fokus diplomasi publik yang sedang
mereka programkan. Sedangkan bagi negara-negara kecil atau belum memiliki
reputasi yang luas seperti Bhutan, Brunei atau Kazakhstan, di satu sisi mereka
hanya mengelola informasi yang tidak terlalu banyak sehingga dapat fokus menggarap
isu tertentu yang akan meningkatkan citra negara bagi publik negara lain yang
mereka targetkan namun di sisi lain persepsi yang sudah tercipta di publik negara
lain sebelumnya memerlukan usaha re-branding
yang luas untuk dapat merubah persepsi tersebut.
Diplomasi
publik ini juga berhubungan dengan ‘soft
power (SP)’ ala Joseph Nye yaitu
usaha-usaha untuk membuat pemerintah negara lain melakukan apa yang kita
agendakan tanpa menggunakan kekuatan koersif/paksaan atau bayaran. Sumber-sumber
SP ini menurut Robert Nye berasal dari budaya bangsa, nilai dan idealisme yang
mereka miliki serta kebijakan yang diambil. Karena diplomasi publik hanya dalam
porsi menyebarluaskan budaya bangsa, nilai ideal dan kebijakan, maka diplomasi publik
dapat dikatakan merupakan salah satu unsur di bawah diplomasi sebagai bagian
dari keseluruhan program-program pemerintahan yang secara utuh menghasilkan ‘soft power’ suatu negara. Maka secara
garis besar diplomasi publik merupakan salah satu unsur pendukung ‘soft power’ dari suatu negara dengan fungsi
menyebarluaskan budaya dan nilai-nilai ideal suatu negara untuk dipahami secara
bersama, menjelaskan kebijakan yang diambil terkait suatu isu internasional dan
yang terpenting adalah kordinasi diplomasi publik dengan masyarakat sipil untuk
menghasilkan pesan yang kredibel, sehingga pada akhirnya membangun hubungan
baik antar warga di negara yang berbeda.
Tujuan
diplomasi publik menurut Mark McDowell terbagi menjadi tiga bagian yaitu jangka
pendek berupa advokasi isu, jangka menengah meningkatkan hubungan baik dengan
elit antar negara dan dalam jangka panjang adalah menjalin hubungan baik dengan
publik yang sebenarnya (masyarakat negara lain), sehingga hubungan baik
tersebut terjadi secara menyeluruh. Untuk tujuan jangka panjang yaitu membangun
hubungan baik antar masyarakat bangsa itulah yang menjadi kesulitan tersendiri
bagi praktisi diplomasi publik. Penilaian efektifitas program diplomasi publik
akan sulit dihitung secara kuantitatif dikarenakan efeknya yang tidak jelas/langsung
dirasakan, padahal setiap program kegiatan pemerintah membutuhkan perhitungan
yang jelas untuk mendapatkan alokasi dana pemerintahan yang sangat terbatas.
Sehingga seringkali program diplomasi publik yang diutamakan adalah program
advokasi isu-isu internasional tertentu yang setidaknya dapat diukur
efektifitas keberhasilannya. Walaupun demikian bagi negara-negara besar dengan
kondisi ekonomi yang baik mereka tidak hanya melakukan advokasi terkait isu
yang berkembang namun juga tetap mengembangkan kegiatan-kegiatan diplomasi publik
yang mengarah pada peningkatan hubungan baik antar elit dan juga hubungan baik
antar warga negara (publik) terutama dengan negara-negara yang strategis bagi
kepentingan nasional mereka.
Menurut
pengamatan saya, negara-negara yang mampu melakukan diplomasi publik yang luas
adalah negara dengan sumber daya yang telah mencukupi. Contoh utama adalah
Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat pada umumnya. Propaganda dan
manajemen informasi terhadap publik internasional telah dikembangkan lebih dulu
dan lebih maju oleh mereka. Sejak Perang Dunia I dan II, kemudian dilanjutkan
dengan era Perang Dingin, utamanya Amerika Serikat selalu memberikan perhatian
yang baik terhadap diplomasi publik ini dengan membentuk badan-badan khusus
terkait penyebaran informasi contohnya Committee
on Public Information pada PD I, Office
of War Information and the Advertising Council selama PD II, United States Information Agency (USIA)
pada era Perang Dingin, bahkan pada tahun 1980-an Reagen membentuk Office of Public Diplomacy
untuk mendukung perang Amerika di Amerika Tengah. Sempat terjadi penurunan
peran diplomasi publik sejak berakhirnya era Perang Dingin dikarenakan Amerika merasa
model bermasyarakat mereka tidak lagi memiliki tantangan ideologis yang serius.
Namun dengan terjadinya peristiwa serangan ‘9/11’ di tahun 2001 yang begitu
mengejutkan bangsa Amerika, maka selain melakukan aksi balasan secara militer
dan politis ke sejumlah target, mereka juga kembali mengaktifkan dan
meningkatkan peran diplomasi publik selain sebagai alat ‘perang
informasi/propaganda’ sebagai tambahan terhadap tindakan militer untuk
mengeliminir ancaman, juga untuk meredakan kesenjangan nilai-nilai ideal dan
mencari kesepahaman dengan publik global terutama publik Muslim di dunia (Zaharna, 2010).
Dengan
ekonomi yang telah maju mereka mampu membiayai berbagai aspek dalam diplomasi publik
terutama di bidang budaya dan pendidikan. Melalui industri budaya populernya,
dapat dikatakan hanya sejumlah kecil negara yang tidak terpengaruh dengan
idealisme dan nilai-nilai yang dianut oleh negara-negara Barat tersebut.
Melalui industri budaya populer tersebut masyarakat di negara-negara lain
cenderung mengagumi dan menghormati kemampuan budaya negara-negara Barat
sehingga setidaknya tidak antipati terhadap sebagian aspek budaya negara Barat,
walaupun dalam hal kebijakan pemerintahan bisa jadi sebagian besar masyarakat
sejumlah negara-negara sangat anti terhadap kebijakan negara-negara Barat (Seib, 2009).
Dalam
kasus Perang Melawan Teror oleh Amerika Serikat, untuk menetralkan publik
Muslim yang mengancam kepentingan nasional Amerika. Mereka melakukan pendekatan
dengan memisahkan sebagian besar (silent
majority) publik Muslim sebagai publik dengan idealisme yang setidaknya
sama dengan idealisme rakyat Amerika (kebebasan, keadilan, demokrasi dan lain
sebagainya) dengan kelompok-kelompok atau rejim politik Muslim yang anti
Amerika (kelompok ‘jahat/evil’).
Terhadap publik silent majority
disuguhkan informasi bahwa Amerika merupakan ‘pembebas’ dari rejim yang jahat
dan bukan sebagai ‘pasukan pendudukan’. Walaupun dalam praktek khususnya di
Irak dan Afganistan, Amerika Serikat tidak atau belum terbukti mampu
membebaskan publik mayoritas dari kekacauan akibat Perang Melawan Teror
tersebut.
Dalam
melakukan diplomasi publik ini juga ditekankan pentingnya peran aktor non
negara, atau aktor masyarakat sipil. Berbagai proyek hubungan masyarakat
terhadap publik Muslim ini dialihdayakan kepada kelompok-kelompok non
pemerintah dengan harapan meningkatkan kredibilitas pesan yang akan
disampaikan. Amerika Serikat melibatkan dunia seni dan budaya seperti film dan
musik populer, industri TV dan radio, lembaga pendidikan tinggi, internet dan
berbagai perusahaan swasta mereka, semuanya digunakan untuk menyampaikan citra
dan nilai-nilai ideal rakyat Amerika yang sesungguhnya serupa dengan apa yang
diidealkan oleh publik Muslim. Dengan keunggulan budaya dalam hal seni film dan
seni musik, film dan musik pop Amerika jelas mudah masuk ke dalam publik Muslim
dan setidaknya menetralisir sentimen antipati terhadap Amerika. Pemberian
beasiswa-beasiswa pendidikan tinggi terhadap mahasiswa-mahasiswa di
negara-negara Muslim juga diharapkan mengurangi sentimen anti Amerika, dan
berbagai upaya lainnya (Ham, 2003).
Dengan
bombardir informasi dari berbagai sumber yang digunakan oleh Amerika Serikat,
mereka diharapkan berhasil melakukan dua hal secara sekaligus. Pertama dengan
terus menampilkan citra yang baik tersebut mereka memperkuat ikatan dengan
mayoritas publik Muslim yang tidak anti Amerika. Di sisi lain program-program
tersebut diharapkan akan melemahkan moral kelompok-kelompok Muslim anti Amerika
sehingga daya rusak mereka dapat terus diminimalisir. Melalui media massa
Barat, pemerintah Amerika Serikat dan Inggris juga sering melakukan tekanan
terhadap media untuk mengurangi kemungkinan media massa digunakan oleh pihak
teroris sebagai alat propaganda (penyebaran video dari teroris dan lain sebagainya).
Selain
yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat sebagai salah satu kekuatan politik
dan ekonomi terkuat di dunia. Diplomasi publik juga dapat dilakukan dalam
cakupan yang mungkin tidak bersifat global dan disesuaikan dengan kemampuan
politik dan ekonomi yang dimiliki suatu negara. Contohnya seperti yang telah
disampaikan pada bagian pendahuluan yaitu diplomasi publik yang dilakukan oleh
Korea Selatan dengan menggunakan aspek budaya dan juga kekuatan dunia
pendidikannya yang cukup baik. Atau diplomasi publik yang dijalankan oleh
Australia terhadap negara-negara Asia dan Pasifik melalui program bantuan
pendidikan Ausaid yang menurut saya sangat meningkatkan citra dan posisi
Australia bagi negara-negara Asia dan Pasifik. Hasil dari diplomasi publik
tersebut secara langsung meningkatkan minat publik internasional untuk
berkunjung ke negara tersebut dan menghasilkan pemasukan finansial yang cukup
besar di bidang pariwisata. Dalam jangka panjang pertukaran antar publik
negara-negara tersebut akan semakin mempererat hubungan publik antar negara dan
semakin mempermudah persuasi politis untuk kepentingan nasional negara-negara
pengirim pesan terhadap pemerintah negara-negara penerima pesan.
Sedangkan penerapannya di Indonesia, seperti
halnya sebagian besar aspek program pembangunan pemerintah lainnya. Pelaksanaan
diplomasi publik di Indonesia dapat dikatakan relatif belum digarap dengan baik
dengan kata lain masih terbengkalai. Indonesia masih menjadi publik atau
sasaran diplomasi publik dari negara lain seperti Amerika Serikat, Australia
dan sejumlah negara lainnya. Negara-negara yang saya anggap strategis bagi
Indonesia seperti Malaysia, Australia, Singapura, China, Arab Saudi, Jepang dan
Amerika Serikat serta negara-negara Eropa Barat lainnya cenderung berperan
sebagai pemasok diplomasi publik bagi Indonesia. Jika dilihat dari sejumlah
film Hollywood atau film luar[1] yang
pernah menyebutkan atau menceritakan negara Indonesia dapat disimpulkan bahwa
negara kita dicitrakan sebagai negara dunia ke tiga yang “sangat tidak
terjangkau” dengan tingkat sosial jauh di bawah mereka dengan kekacauan politik
yang brutal.
Pemerintah
dalam menghadapi pencitraan yang menurut saya tidak berimbang tersebut tidak
mampu menyajikan informasi yang dapat menyeimbangkan publik dunia atau publik
sejumlah negara tertentu yang kita anggap sebagai negara-negara strategis.
Dalam menyikapi beredarnya produksi film yang dapat merusak citra bangsa
tersebut, pada masa lalu (Orde Baru) pemerintah hanya mampu melakukan pelarangan
diputarnya sebagian film-film tersebut di Indonesia. Padahal banyak cara lain
yang dapat dilakukan selain pelarangan, seperti produksi film atau konten
budaya yang menonjolkan keunggulan budaya dan keindahan negeri, mendorong dan
mendukung industri budaya Indonesia untuk dapat maju dan mampu bersaing di
level internasional sehingga setidaknya dapat memberikan masukan bagi publik
negara-negara tetangga tentang citra Indonesia. Selain itu dalam dunia
pendidikan tinggipun sebagai salah satu alat diplomasi publik, Indonesia masih
tertinggal bahkan dibandingkan Malaysia, sehingga memang sulit bagi dunia
pendidikan tinggi untuk dijadikan salah satu alat untuk meningkatkan citra
negara di publik luar. Bahkan dengan posisi Indonesia saat ini sebagai pengirim
tenaga kerja buruh dan pembantu ke sejumlah negara seperti Malaysia, Hong Kong,
Singapura dan Arab Saudi. Dengan berbagai masalah mismanajemen yang
melingkupinya, maka semakin lengkaplah posisi Indonesia sebagai negara dengan
citra yang kurang baik bagi publik di negara tersebut. Posisi Indonesia
tersebut sesungguhnya sangat membutuhkan terobosan yang progresif untuk dapat
segera mengejar ketertinggalan di antaranya melalui penguatan diplomasi publik
pemerintah.
Melihat
permasalahan citra yang dihadapi Indonesia, sebenarnya potensi untuk menghadapi
atau memperbaiki citra tersebut cukuplah banyak. Di bidang budaya, musik dan
film karya industri Indonesia seringkali dikatakan lebih maju dari pada
sejumlah negara tetangga sehingga dengan dukungan yang baik atau dukungan
mediasi kerjasama internasional diharapkan dapat meningkat ke level selanjutnya
terutama pada level regional Asia Tenggara dan juga Pasifik. Sedangkan
permasalahan TKI pada dasarnya adalah tingkat pendidikan yang masih rendah, manajemen
yang tidak jelas dan korupsi sehingga rekrutmen tidak dilakukan dengan
profesional, penuh dengan penyelewengan wewenang dan suap-menyuap sehingga
menghasilkan rekrutan yang ala kadarnya, human
trafficking dan menimbulkan masalah
di negara-negara tujuan dengan perlindungan hukum yang lemah. Yang perlu
dilakukan pemerintah dalam hal ini adalah perbaikan sistem yang menyeluruh dan
penegakan hukum yang tegas sehingga tidak ada lagi TKI illegal yang
mempermalukan/merepotkan negara secara keseluruhan.
Potensi
bidang kebudayaan, dalam bidang kebudayaan sebenarnya Indonesia memiliki
kekayaan budaya yang sangat beragam dan menarik untuk dapat ditampilkan sebagai
daya tarik untuk meningkatkan daya saing dengan negara-negara pengekspor budaya
lainnya. Dalam khasanah budaya tradisional Indonesia memiliki kekayaan budaya
yang unik dan berkualitas cukup tinggi untuk dapat dipasarkan setidaknya di
level kawasan regional dalam rangka meningkatkan kunjungan pariwisata dan juga
meningkatkan citra bangsa secara umum apalagi didukung dengan kondisi geografis
Indonesia yang beriklim tropis dengan pemandangan alam yang sangat indah. Dalam
hal seni tari, musik, lukis dan berbagai bentuk seni tradisional lainnya
seperti kekayaan budaya di bidang seni batik, ukir dan seni lainnya, Indonesia
memiliki modal keragaman dan kualitas yang lebih dari cukup untuk dapat dikemas
dan disebarkan kepada publik negara lain. Kekayaan ini bahkan sering diklaim
oleh negara tetangga sebagai kekayaan milik negara mereka. Untuk itu perlu
kerja keras pemerintah Indonesia dalam jangka pendek untuk menjaga kekayaan
budaya tradisional Indonesia melalui penguatan penerapan hak kekayaan
intelektual (HAKI) terhadap produk-produk budaya unggulan. Kemudian dalam
jangka menengah dan panjang perlu penguatan dan pelestarian budaya tradisional
Indonesia yang unggul untuk kemudian dipasarkan ke publik internasional
setidaknya pertama-tama untuk menarik wisatawan dan jangka panjang meningkatkan
pemahaman publik internasional terhadap budaya Indonesia.
Dalam
bidang budaya populer, potensi ini juga cukup besar apalagi jika dikomparasikan
dengan kekuatan-kekuatan regional seperti di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik.
Industri musik dan film populer Indonesia sejak awal pertumbuhannya sebenarnya
memiliki tempat tersendiri dan baik terutama bagi masyarakat Indonesia sendiri (Marbun, 2014). Hal ini adalah
modal yang cukup kuat untuk dikembangkan agar mampu bersaing dalam level
regional dan global seperti yang telah dilakukan oleh budaya populer Jepang,
China, India, Korea Selatan dan Australia bahkan sekarang oleh industri kreatif
dari Thailand yang mulai menguat di level regional. Pemerintah bersama
masyarakat sipil penggiat industri kreatif perlu merumuskan strategi yang
komprehensif berserta pelaksanaannya secara konkrit terkait penguatan industri
kreatif sebagai salah satu aspek dalam budaya yang akan menguatkan diplomasi
publik dan juga citra bangsa di publik internasional. Contoh masalah dalam
industri kreatif yang sangat mengganggu perkembangannya saat ini adalah masalah
HAKI baik pada industri musik dan film yang mengalami gangguan hebat dari
aktifitas pembajakan. Selain itu dunia industri seni desain dan karya kreatif
lainnya juga rawan plagiarisme sehingga menurunkan motivasi pekerja seni untuk
menghasilkan karya yang berkualitas tinggi.
Di
bidang pendidikan tinggi, jika dilihat dari indikator peringkat pendidikan
tinggi di dunia seperti di berbagai situs peringkat universitas dunia. Terlihat
bahwa kondisi pendidikan tinggi Indonesia masih jauh di bawah Australia,
Singapura bahkan Malaysia. Peringkat paling tinggi universitas Indonesia adalah
di kisaran peringkat 500 sampai 600 dunia, padahal Malaysia mampu meningkatkan
kualitas sejumlah universitasnya sampai ke peringkat yang jauh lebih tinggi
dibandingkan Indonesia. Pemerintah dan publik penggiat pendidikan perlu
melakukan terobosan yang juga progresif untuk segera meningkatkan kualitas
pendidikan tinggi kita untuk dapat setidaknya bersaing atau bahkan menjadi
rujukan bagi publik pendidikan internasional setidaknya di kawasan Asia
Tenggara.
Dari
paparan di atas dapat disimpulkan bahwa diplomasi publik sesungguhnya merupakan
bagian penting dari aktifitas komunikasi dan politik internasional suatu
negara. Aktifitas politik dan juga ekonomi internasional tidak melulu
mengandalkan keberhasilannya pada perhitungan politik dan ekonomi semata,
terdapat aspek sentimen-sentimen publik yang juga perlu digarap dengan
sebaik-baiknya untuk menghasilkan keluaran program diplomasi yang berhasil.
Diplomasi publik tidak hanya penting bagi negara yang sedang menghadapi masalah
dengan publik global seperti program demokratisasi global, perang melawan teror
dan berbagai program komunikasi global oleh Amerika Serikat dan negara-negara
Barat. Tetapi juga bagi negara-negara seperti Indonesia untuk setidaknya
menggarap publik internasional kawasan regional atau publik di negara-negara
yang dianggap strategis secara politik dan ekonomi. Hasil dari diplomasi publik
yang baik secara langsung akan menghasilkan peningkatan kunjungan wisata dan
ikatan perdagangan yang lebih intens sedangkan secara jangka panjang akan
meningkatkan kedekatan publik antar negara yang pada akhirnya akan mempermudah
proses politik dan komunikasi antar negara.
Pemerintah dan bangsa Indonesia sekali lagi masih cenderung lalai dalam menggarap aspek ini. Hal ini mungkin disebabkan masih belum kuatnya fondasi politik dan ekonomi Indonesia untuk dapat diarahkan pada peningkatan berbagai aspek diplomasi publik atau citra negara seperti penguatan bidang kebudayaan baik tradisional dan juga populer termasuk di dalamnya adalah peningkatan kualitas dunia olahraga, penguatan kualitas pendidikan tinggi dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat secara umum. Namun jika melihat perkembangan di negara lain terutama yang sangat mencolok adalah lompatan yang dilakukan oleh Korea Selatan yang di masa-masa awal kemerdekaannya nyaris sama tingkatannya dengan Indonesia namun dalam perjalanan selanjutnya mampu bersaing dengan negara-negara industri maju di segala bidang bahkan dalam beberapa bidang seperti industri elektronik dan otomotifnya dapat menyalip kekuatan besar seperti Jepang dan Eropa Barat, maka bukan suatu hal yang mustahil bagi bangsa Indonesia untuk melakukan keberhasilan yang sama atau bahkan lebih. Perlu perubahan sikap bangsa dalam menjalani pembangunan dan perlu studi komparasi lebih lanjut untuk memahami bagaimana Korea Selatan mampu berubah dari negara berkembang menjadi negara maju yang sangat disegani di dunia.
Penulis: Rahmat Purwono
Referensi
Asmoro, W. (2013, Mei 13). www.widiasmoro.com/2013/05/13/belanja-lagu-pengguna-itunes.
Retrieved Juni 17, 2014, from www.widiasmoro.com.
compusiciannews.com. (2014, Juni 6). compusiciannews.com/mobile/default#/mobile/detail/1191.
Retrieved Juni 17, 2014, from compusiciannews.com.
Dunn, S. M. (Director). (2008). Global Metal [Motion
Picture].
Ham, P. V. (2003). War, Lies and Videotape: Public Diplomacy
and the USA's War on Terrorism. Security Dialogue , 428-444.
Liang, I. C. (2013). Industri Kreatif dan Ekonomi Sosial di
Indonesia: Permasalahan dan Usulan Solusi Dalam Menghadapi Tantangan Global. Prosiding
The 5th International Conference on Indonesian Studies: "Ethnicity and
Globalization" (pp. 304-322). Yogyakarta: ICSSIS.
Marbun, J. (2014, Maret 12). m.republika.co.id/berita/senggang/musik/14/03/12/n2b3x5-menparekraf-industri-musik-berperan-bagi-perekonomian-nasional.
Retrieved Juni 17, 2014, from m.republika.co.id.
McDowell, M. (2008). Public Diplomacy at the Crossroads:
Definitions and Challenges in an "Open Source" Era. The Fletcher
Forum of World Affairs , 7-15.
musikologi.com. (2014, Juni 17). musikologi.com/mengintip-sejarah-industri-rekaman-di-indonesia-bag-1.
Retrieved Juni 17, 2014, from musikologi.com.
Oppenheimer, J. (Director). (2012). The Act of Killing
[Motion Picture].
Phillip G. Altbach, J. S. (2012). The Road to Academic
Excelence; Pendirian Universitas Riset Kelas Dunia. (R. Purwono, Trans.)
Jakarta: Salemba Humanika.
Ratican, R. (2005). Pengaruh Kemerdekaan Timor Leste
terhadap Hubungan Australia dengan Indonesia. Malang: Australian Consortium
for "In Country" Indonesian Study (ACICIS).
Seib, P. (2009). Toward A New Public Diplomacy. New
York: Pallgrave Macmillan.
Stone, O. (Director). (2006). Savages [Motion
Picture].
Weir, P. (Director). (1982). The Year of Living
Dangerously [Motion Picture].
Zaharna, R. S. (2010). Battle to Bridges: US Strategic
Communication and Public Diplomacy after 9/11. New York: Pallgrave
Macmillan.
[1] Penulis memperhatikan sejumlah film luar yang setidaknya
menyebutkan Indonesia cenderung menganggap negara ini sebagai negara
terbelakang dengan kondisi sosial politik yang menyedihkan. Contohnya adalah
film Savages yang disutradarai Oliver Stone (Stone, 2006),
The Act of Killing film dokumenter karya Joshua Oppenheimer tentang keganasan
Pemuda Pancasila menghabisi PKI di tahun 60-an (Oppenheimer, 2012), atau film The Year of Living
Dangerously yang dibintangi oleh Mel Gibson dan Sigourney Weaver dan sejumlah
film lainnya (Weir, 1982).