Jumat, 28 April 2017

Perspektif Teori Komunikasi Organisasi Karl Weick Terhadap Kondisi Birokrasi Indonesia


Pendahuluan

Sejak lama telah bekembang stigma di masyarakat bahwa pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia kinerjanya tidak memuaskan. Tak terhitung banyaknya laporan media massa menyatakan bahwa kinerja pegawai negeri sangat rendah dan menjadi cibiran masyarakat, contohnya adalah banyaknya berita razia PNS bolos kerja oleh Satuan Polisi Pamong Praja, sidak oleh kepala daerah terhadap kehadiran PNS pada hari-hari setelah liburan dan lain sebagainya. Namun anehnya minat masyarakat untuk menjadi pegawai negeri masih sangat tinggi. Hal ini menimbulkan sekilas pertanyaan terhadap masyarakat yang sebagian besar mencibir kinerja pegawai negeri tersebut, apakah mereka mencibir karena kecewa tidak menjadi bagian dari pegawai negeri yang mereka dambakan atau ada motif lainnya.

Di sisi lain pemerintah sebagai pengelola PNS terus berusaha memperbaiki kinerja PNS tersebut. Hal ini dilakukan dengan menggunakan berbagai macam strategi, di antaranya melalui penyusunan peraturan yang semakin jelas dan ketat, menyusun skema ‘reward and punishment’ yang terus diperbaiki, melakukan berbagai macam pelatihan untuk meningkatkan kompetensi mereka dan terus mensosialisasikan semua strategi tersebut kepada sebanyak-banyaknya PNS di seluruh Indonesia melalui berbagai forum sosialisasi dan rapat-rapat. Namun sampai saat ini perkembangan yang dirasakan masih kurang memuaskan bagi masyarakat, terbukti dengan masih tingginya tingkat kekecewaan masyarakat terhadap kinerja birokrat terutama yang langsung berhubungan dengan hajat masyarakat luas seperti pelayanan di kecamatan, kelurahan, pendidikan dan kesehatan, hal ini dapat dilihat dari berbagai berita dan komentar masyarakat di media massa.

Secara teoritis banyak hal yang mungkin menjadi faktor penyebab rendahnya kinerja PNS tersebut. Dalam aspek komunikasi organisasi, rendahnya kinerja juga dapat dihasilkan dari kurang efektifnya komunikasi baik secara internal dan eksternal dalam organisasi birokrasi (Kuswantoro, 2012 dan Simatupang, 2013). Jika kita ambil satu sudut pandang teoritis tentang komunikasi organisasi yang dikemukakan oleh Karl Weick. Yang menyatakan bahwa berorganisasi adalah memproses informasi atau masalah yang timbul di lingkungannya untuk kemudian mencari solusi terhadap informasi atau masalah tersebut. Suatu organisasi dalam hal ini birokrasi akan mengalami pembusukan jika tidak terus dihadapkan pada suatu isu yang progresif/baru, karena organisasi yang tidak dihadapkan pada isu yang menantang/progresif maka organisasi tersebut akan cenderung diam di mana sesuai dengan definisi Weick terhadap organisasi maka organisasi yang diam itu bukan lagi sebuah organisasi.

Poin-poin Penting Pendekatan Komunikasi Organisasi Karl Weick dan Realitanya pada Organisasi Birokrasi

Komunikasi sebagai inti berorganisasi.

Menurut Karl Weick, gambaran tentang perjalanan organisasi secara keseluruhan terlihat seperti perjuangan mahluk hidup untuk dapat bertahan hidup (semua bagian dari organisasi itu terus berkomunikasi dengan aktif untuk menghasilkan sesuatu/mempertahankan eksistensinya). Menurut Weick berorganisasi adalah merubah informasi yang samar menjadi informasi yang dapat dipahami secara jelas dengan menggunakan kata-kata (baik lisan atau tulisan) untuk dijadikan sebagai dasar untuk tindakan selanjutnya. Dan karena berorganisasi adalah usaha untuk mewujudkan “makna”, maka berorganisasi merupakan masalah bahasa, bicara dan komunikasi. Berorganisasi/berkumpul ini cenderung terjadi saat kondisi lingkungan dianggap berbeda dari yang diharapkan atau di saat tidak ada cara yang jelas untuk menghadapi perubahan lingkungan (Sutcliffe, 2005). Cara yang digunakan adalah siklus interaksi ganda (yaitu komunikasi antara organisasi dengan lingkungannya) yang merupakan pembentuk setiap organisasi. Siklus komunikasi ini merupakan salah satu fokus penentu keberhasilan sebuah organisasi.

Realitas pelaksanaan komunikasi di lembaga birokrasi sebenarnya secara formal sudah dibentuk berbagai format untuk memfasilitasi alur komunikasi yang seoptimal mungkin. Di antaranya melalui surat-menyurat, rapat-rapat kordinasi, sosialisasi, bimbingan teknis, brifing dan lain sebagainya yang merupakan bagian dari komunikasi ke bawah (down ward communication). Sedangkan dalam hal komunikasi dari bawahan ke atasan (up ward communication) dalam organisasi birokrasi berupa forum diskusi yang seringkali dilakukaan setelah sesi rapat formal dan analisa staf (Cornelissen, 2011). Namun di berbagai kesempatan dapat dilihat bahwa rapat-rapat atau forum sosialisasi tersebut seringkali tidak dimaknai sebagai suatu hal yang penting, hanya dianggap sebagai acara formalitas untuk menghabiskan anggaran atau memenuhi program kerja yang telah direncanakan.

Dan dalam hal pelaksanaan komunikasi yang efektif ini juga terdapat faktor budaya yang cukup berpengaruh yaitu salah satunya adalah budaya ‘ewuh pakewuh’ yang sedikit banyak akan mengurangi atau mendistorsi intensitas terjadinya komunikasi yang lancar antara semua bagian dalam organisasi tersebut dalam merespon informasi dari lingkungan. Di satu sisi dikarenakan struktur lembaga birokrasi yang dibuat kaku maka komunikasi yang berupa masukan dari bawahan kurang dapat diterima dan dijadikan bahan untuk mencari solusi. Di sisi lain atasan seringkali tidak mampu mengkomunikasikan teguran atau kekecewaan terhadap bawahannya dikarenakan budaya kerja dan sistem kepegawaian yang juga kurang memberikan ruang terhadap adanya komunikasi yang lugas seperti itu.

Tujuan berorganisasi adalah untuk mempertahankan eksistensi organisasi.
Weick juga mengadopsi teori Darwin terhadap organisasi, di mana tujuan utama organisasi adalah untuk eksis melampaui tujuan yang ada dalam AD/ART mereka. Organisasi yang tidak dapat beradaptasi terhadap lingkungan sosio-kulturalnya akan mati, sehingga jika mereka ingin eksis maka mereka perlu beradaptasi. Oleh sebab itu terdapat organisasi yang lebih mampu terus menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan bertahan hidup dibandingkan organisasi lainnya (contohnya persaingan antar sekolah dalam mendapatkan siswa dan timbul tenggelamnya perguruan tinggi swasta). Dan pendorong perubahan di dalam organisasi adalah perubahan perilaku anggotanya (maka yang sangat menentukan dalam kemampuan bertahan hidup sebuah organisasi adalah kemampuan anggotanya untuk merubah perilaku agar sesuai dengan lingkungannya).

Dalam organisasi birokrasi khususnya di Indonesia, pemahaman tujuan beroganisasi untuk mempertahankan eksistensi lembaga tidak terjadi atau sedikit sekali, terdapat suatu pemahaman bahwa setelah menjadi PNS maka apapun yang terjadi dengan lembaga tersebut tidak akan mematikan karir PNS tersebut, contohnya jika suatu lembaga dibubarkan (dimatikan dalam istilah Weick) seperti pada kasus Departemen Penerangan dan Departemen Sosial pada era pemerintahan Gus Dur, maka PNS di dalamnya tidak serta merta juga dipecat atau kehilangan status sebagai PNS. PNS di departemen tersebut hanya akan dipindahkan ke departemen lainnya. Secara tidak langsung hal ini menimbulkan suatu pemikiran pada para PNS bahwa apapun yang terjadi dengan lembaga mereka (eksis atau tidaknya lembaga) tidak menjadi masalah yang mengkhawatirkan bagi mereka para PNS sehingga sebagian besar cenderung berkinerja biasa saja atau sekedar memenuhi standar minimal agar tidak dipecat.

Namun akhir-akhir ini untuk merespon perubahan lingkungan yang semakin cepat terlihat sejumlah upaya untuk merubah perilaku para birokrat dengan dilakukannya sejumlah inovasi di bidang kepegawaian. Contohnya adalah lelang jabatan yang yang dilakukan oleh Pemerintah Jokowi di Jakarta. Dengan diadakannya lelang terbuka atau seleksi terbuka dalam merekrut pejabat maka secara tidak langsung Jokowi mengkomunikasikan kepada bawahannya untuk mempersiapkan diri untuk terus diuji kapasitas dan kompetensinya dan hal ini tentu saja sedikit banyak akan merubah perilaku birokrat di Jakarta yang mungkin dulunya mendapatkan jabatan dengan mendekati pimpinan secara personal, sedangkan sekarang dibutuhkan semuanya, baik kemampuan komunikasi interpersonal dan juga aspek objektif seperti pemahaman, kompetensi dan wawasan.

Menurut Weick, evolusi sosio-kultural lingkungan di sekitar organisasi adalah proses tiga tahap yang dimulai dengan penindakan.

Penindakan - pemilihan interpretasi - penetapan solusi

Penindakan: jangan hanya diam, lakukan sesuatu.
Weick menyatakan bahwa sulit membuat batas yang pasti antara organisasi dengan lingkungan di sekitarnya dan tindakan merupakan ide dasar pembentukan organisasi. Weick yakin bahwa kegagalan melakukan aksi ini adalah penyebab sebagian besar ketidakefektifan suatu organisasi. Manajer gagal adalah yang diam saja.
Beberapa kata nasehat dari Weick yang akan terdengar ‘unik’ bagi pendekatan komunikasi organisasi konvensional:
Bersiap, tembak, bidik.
Bertindak dulu berpikir kemudian.
Bersiap melompat sebelum melihat keadaan.
Ketepatan tidak sepenting semangat.
Tindakan semrawut lebih baik daripada kelambanan/diam yang tertib.
Weick yakin bahwa tindakan adalah prasyarat terjadinya pemahaman, yaitu dengan bertanya, bernegosiasi, membangun pemikiran awal untuk memancing reaksi dan atau menyatakan sesuatu untuk melihat respon yang terjadi. Oleh sebab itulah menurut Weick organisasi yang baik adalah yang lebih sering melakukan pertemuan untuk “menindaklanjuti” berbagai keadaan/informasi yang samar-samar.

Dalam organisasi birokrasi di Indonesia, nasehat-nasehat Weick di atas cukup sulit dilaksanakan. Dapat dikatakan bahwa inisiatif (enactment - dalam istilah Weick) merupakan hal yang tabu dilakukan oleh PNS, karena biasanya dianggap sebagai ancaman bagi pimpinan secara berjenjang (hanya bawahan yang bermental baja saja yang mungkin dapat melakukan inisiatif dan masukan kepada pimpinan). Fenomena tidak adanya inisiatif ini tidak hanya terjadi pada birokrat level bawah saja, namun pejabat birokrat tinggipun tidak akan dapat memberikan alternative tindakan terhadap keputusan atasannya yang mungkin saja salah, hal ini dapat dilihat dengan mengamati kasus korupsi yang biasanya terjadi secara berjamaah contoh yang jelas adalah pada kasus korupsi Hambalang di mana menteri, sekjen, kepala biro, kepala bagian di Kemenpora terlibat yang menunjukkan bahwa kebijakan pimpinan yang salah tidak diberi alternative jalan keluar oleh para bawahannya. Dengan berpusatnya hak inisiatif pada elit organisasi birokrasi maka sebagian besar pegawai dalam lembaga birokrasi dapat dikatakan bersifat pasif atau menunggu perintah. Sehingga muncullah fenomena PNS yang datang-absen-duduk-baca koran-ngobrol-pulang. Walaupun sebenarnya secara formal terdapat nilai inisiatif dalam daftar penilaian kinerja pegawai. Selain itu inisiatif atau aksi pada PNS seringkali tidak dibarengi dengan dukungan secara logistic dan finansial. Seringkali PNS yang berinisiatif melakukan sesuatu maka dia akan melakukannya sendirian tanpa dukungan logistic dan finansial dari pimpinan, dalam istilah lokal dikatakan “yang usul berarti dialah yang mikul pekerjaan tersebut (usul mikul – dalam bahasa Jawa)”. Dengan keadaan seperti itu semakin ciutlah keinginan PNS untuk bertindak lebih dari yang diharapkan (beyond expectation). Belum lagi menghadapi batasan aturan dan penganggaran yang kaku namun seringkali subjektif tergantung siapa yang berkuasa, lenyaplah potensi enactment dari para anggota organisasi birokrasi tersebut.

Seleksi/pemilihan interpretasi: proses pemahaman yang bersifat retrospektif

Menurut Weick dasar konsep pemilihan informasi yang bersifat retrospektif adalah bahwa kita tidak dapat menginterpretasi tindakan yang belum kita lakukan. Sehingga kita harus melakukan sesuatu terlebih dahulu untuk kemudian menginterpretasikannya. Perencanaan dilakukan setelah melakukan penindakan.

Kesamaran informasi - penindakan - penetapan/pemilihan interpretasi

Terdapat dua instrumen organisasional yang dapat membantu pemilihan interpretasi, yaitu aturan-aturan (budaya korporat atau organisasi) dan siklus komunikasi (yaitu siklus tindakan–respon–penyesuaian). Namun aturan-aturan (budaya organisasi) ini kurang memuaskan dalam menghadapi situasi yang multi dimensi. Weick menyatakan bahwa aturan dapat diaplikasikan jika kesamarannya rendah. Namun apabila terlalu banyak interpretasi yang saling berlawanan maka aturan cenderung gagal memperjelas keadaan. Sehingga Weick lebih menekankan metode siklus aksi/tindakan–respon–penyesuaian (komunikasi intensif). Hal ini dapat dilakukan melalui wawancara, pertemuan, brifing terbuka, konferensi, telepon, diskusi, emails, pertemuan makan siang atau sekedar mengobrol.  Weick mengatakan bahwa semakin samar sebuah informasi yang harus diproses oleh organisasi, maka semakin banyak diperlukan siklus komunikasi (pertemuan) untuk mengurangi kebingungan sampai pada batas yang dapat diterima.

Dalam hal pemilihan interpretasi atas tindakan organisasional yang telah dilakukan, organisasi birokrasi relatif melakukannya dengan menggunakan dasar aturan-aturan atau budaya organisasi (kultur instansi). Walaupun proses pemilihan interpretasi ini juga masih terbatas terhadap para elit organisasi (pimpinan). Sehingga yang tercakup di dalamnya tentu saja tidak mencakup aspirasi dari keseluruhan anggota organisasi tersebut. dan seperti yang dinyatakan oleh Weick, penggunaan aturan ini tidak memuaskan dalam mengatasi masalah di lingkungan sekitar organisasi tersebut (dalam hal ini adalah permasalahan yang dihadapi masyarakat sebagai pemangku kepentingan yang utama). Dan sarannya untuk melupakan aturan untuk lebih menitikberatkan pada komunikasi intens yang menghasilkan kesepakatan bersama yang spesifik mengatasi masalah tersebut dapat dikatakan belum dilaksanakan dengan baik oleh organisasi birokrasi. Walaupun usaha untuk bergerak ke arah tersebut terus dikembangkan oleh pemerintah dengan memperkuat Badan Kepegawaian Negara dan membentuk Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi di mana kedua lembaga tersebut terus berusaha meningkatkan intensitas dan kecepatan respon komunikasi antar lembaga dalam rangka merespon perubahan lingkungan.

Dengan semakin tinggi dan cepatnya respon tersebut maka akibatnya adalah peraturan yang disesuaikan juga semakin cepat berubah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Weick bahwa lingkungan yang berubah dengan cepat memerlukan perubahan atau fleksibilitas organisasional yang tinggi pula. Dan hal itu tidak dapat dicapai dengan pembakuan aturan di masa lalu namun dengan kecepatan terciptanya kesepahaman yang sama (consensus) sebagai respon terhadap perubahan dan penyesuaian aturan yang cepat pula sesuai dengan kondisi yang berkembang. Pencapaian consensus itu hanya dapat dicapai dengan pola komunikasi yang intens dan efektif.

Penetapan: perlakukan ketetapan masa lalu sebagai gangguan

Weick menyadari bahwa kumpulan data masa lalu menghasilkan stabilitas bagi orang-orang untuk bekerja bersama-sama. Kumpulan data-data masa lalu (catatan berbagai aspek di dalam organisasi itu yang membuatnya mampu bertahan) itulah yang menjadi budaya korporat/organisasi. Namun dia merasa bahwa panduan tertulis organisasi dan kebijakan tertulis adalah pengganti yang terbatas dibandingkan dengan pengalaman dan ingatan anggota organisasi apalagi jika pengetahuan individual dan kolektif para anggota tersebut sangat menonjol. Oleh karena itu Weick lebih menyarankan para pemimpin organisasi untuk terus meninggalkan kebiasaan lama dan terus bersikap kritis agar terus dapat beradaptasi dengan lingkungan yang juga terus berubah, tidak hanya terlalu mengandalkan pada aturan yang bisa jadi tidak aplikatif lagi (Griffin, 2006).

Weick menyatakan umumnya organisasi mengalami kegagalan karena mereka kehilangan fleksibilitas dikarenakan terlalu mengandalkan masa lalunya sehingga tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah. Selain itu Weick juga menyatakan bahwa budaya organisasi tidak sepenting kemampuan dan imajinasi individual serta kolektif yang menonjol di dalam organisasi untuk mendiskusikan dan mencari solusi dalam menghadapi masalah yang datang (Gogan, 2006).

Nasehat Weick dalam masalah aturan-aturan ini memang cukup menyulitkan bagi organisasi birokrasi pemerintahan yang semua tindakannya harus didasarkan pada peraturan yang berlaku. Namun di akhir-akhir ini permasalah tersebut dapat diselesaikan dengan semakin cepatnya peraturan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang muncul. Semakin banyak peraturan kuno yang diuji ulang untuk kemudian direvisi untuk menyesuaikan diri dengan kondisi terkini lingkungan di sekitar organisasi tersebut. contohnya adalah perubahan aturan tentang kepegawaian yang semakin responsif, penyusunan aturan baru yang merespon fenomena masyarakat yang baru seperti UU ITE, pencucian uang dan peraturan-peraturan lainnya. Namun sampai saat ini dapat dikatakan bahwa kemampuan organisasi khususnya birokrasi dan pemerintahan dalam merespon perubahan lingkungan relatif masih tergopoh-gopoh dan kesulitan mengejar perubahan dunia yang sangat cepat, contohnya pada kasus kontroversi transportasi berbasis aplikasi seperti taksi on line dan juga ojek on line. Dalam kasus tersebut terlihat pemerintah tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi sehingga menimbulkan kebingungan dan konflik di masyarakat.

Kesimpulan

Dari paparan di atas terlihat bahwa dari sudut pandang Weick dalam hal organisasi sebagai pemroses informasi atau masalah dari lingkungannya, organisasi birokrasi di Indonesia masih belum sesuai dengan harapan yang divisikan oleh Weick tentang suatu organisasi yang baik. Organisasi birokrasi di Indonesia masih bergerak dengan lambat dalam merespon perubahan lingkungan di sekitarnya. Komunikasi yang terjadi di dalam organisasi birokrasi masih mengalami hambatan baik secara sistem dan juga budaya, sehingga diperlukan suatu perubahan yang sistemik untuk dapat meningkatkan efektifitas komunikasi dalam organisasi birokrasi yang pada akhirnya akan menghasilkan kinerja yang membaik pula. Selain itu birokrasi juga masih sangat mengandalkan aturan-aturan masa lalu yang menurut Weick tidak cukup membantu menyelesaikan masalah jika dibandingkan dengan kemampuan anggota-anggota organisasi dalam mendiskusikan pilihan solusi yang mutakhir (up to date - kekinian). Namun dalam perkembangannya akhir-akhir ini muncul sejumlah usaha untuk mereformasi birokrasi di Indonesia melalui penguatan komunikasi organisasi birokrasi dan menurut saya perubahan ini semakin sesuai dengan visi organisasi menurut Weick yaitu bahwa organisasi adalah proses yang hidup dan cepat sesuai dengan lingkungannya yang juga berubah dengan cepat, sehingga tidak dapat mengandalkan pada aturan kuno yang kaku namun lebih kepada diskusi yang intens di antara anggota organisasi tersebut dalam merespon masalah yang ada.

Penulis: Rahmat Purwono

Daftar Pustaka
Cornelissen, J. (2011). Corporate Communication: A Guide to Theory and Practice (3th    edition ed.). London: Sage Publication.
Gogan, J. L. (2006). Commentary on Karl Weick’s The Roles of Imagination in the           Organizing of Knowledge. European Journal of Information Systems , 15, 453-456.
Griffin, E. (. (2006). A First Look at Communication Theory (6th edition ed.). Boston:      McGrawHill.
Kuswantoro, S. (2012). Pengaruh Kepemimpinan, Komunikasi, Reward dan Motivasi       Terhadap Kinerja Pegawai Dinas Pendidikan Kabupaten Tulungagung. Otonomi , 12    (3), 93-103.
Simatupang, T. (2013). Analisis Pengaruh Kepemimpinan dan Komunikasi Terhadap Kinerja        Pegawai. EconoSains , 11 (1), 87.
Sutcliffe, K. E. (2005). Organizing and the Process of Sensemaking. Organization Science ,          16 (4), 409-421.

Jumat, 21 April 2017

Sejarah Penyelenggara Pemilu di Kabupaten Sleman



Pemilu 1955  
Fungsi lembaga penyelenggara pemilihan umum (pemilu) di Indonesia dimulai sejak persiapan pemilu pertama pada tahun 1955, walaupun demikian dasar pemikiran tentang perlunya pelaksanaan pemilu telah dicetuskan oleh pendiri negara sejak awal kemerdekaan dengan dikeluarkannya Maklumat X atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 November 1945 tentang anjuran pembentukan partai politik dan rencana pelaksanaan pemilu pada bulan Januari 1946, namun dikarenakan kondisi negara yang masih belum stabil maka pemilu tidak juga dilaksanakan sampai tahun 1955.
Pada pemilu 1955 fungsi penyelenggara pemilu di tingkat pusat dilaksanakan oleh Panitia Pemilihan Indonesia yang beranggotakan lima sampai sembilan orang dengan masa kerja empat tahun, dibentuk berpedoman pada Surat Edaran Menteri Kehakiman. Di bawahnya terdapat Panitia Pemilihan di tingkat daerah pemilihan (dapil – dalam konteks saat ini dapil dapat disetarakan dengan wilayah regional yang terdiri dari beberapa provinsi) yang beranggotakan lima sampai tujuh orang dengan masa kerja juga empat tahun. Kemudian di tingkat kabupaten dibentuk Panitia Pemilihan Kabupaten dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri untuk membantu pelaksanaan pemilu di kabupaten. Dan yang terakhir di tingkat kecamatan, Menteri Dalam Negeri membentuk Panitia Pemungutan Suara dengan jumlah anggota minimal lima orang dan diketuai oleh Camat (Komisi Pemilihan Umum, 2010). Struktur panitia pemilihan di tingkat pusat dan tingkat dapil pada pemilu 1955 sebagian besar berasal dari unsur pejabat/birokrasi pemerintah dibantu unsur partai politik (Prabawati, 2012).
Pemilu 1955 di Kabupaten Sleman menghasilkan komposisi perolehan suara pemilihan anggota DPR meliputi:
1.      Partai Nasional Indonesia (PNI) memperoleh 22%.
2.      Partai Gerinda 18%.
3.      Partai Komunis Indonesia (PKI) 17%
4.      Majelis Syuro Muslimin (Masyumi) 14%
5.      Nahdlatul Ulama (NU) 13%
6.      dan 16% sisanya direbut oleh partai-partai lainnya .
Sedangkan untuk pemilihan anggota Konstituante meliputi:
1.      PNI 26%.
2.      Gerinda 17%.
3.      PKI 16%.
4.      Masyumi 13%.
5.      NU 13%.
6.      Dan sisanya 14% direbut oleh partai-partai lainnya (Pemilu Asia, 2009).
Yang cukup menarik dalam uraian ini adalah adanya partai Gerinda yang tidak ada datanya di daerah lainnya. Ternyata Gerinda adalah partai politik lokal di DI Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah, partai ini merupakan perkembangan dari organisasi Pakempalan Kawula Ngayogyakarta yang diprakarsai oleh keluarga Keraton Yogyakarta (Prabawati, 2012).
Di masa ini belum ada pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung serta pemilihan kepala daerah secara langsung. Kepala daerah Sleman di masa itu di antaranya adalah KRT Dipodiningrat dan KRT Prawirodiningrat (Trisihono, 2011), tidak ditemukan bagaimana tatacara pemilihan kepala daerah di masa itu, namun jika melihat adanya gelar bangsawan yang dimiliki oleh dua kepala daerah Sleman tersebut, kemungkinan bahwa mereka adalah hasil penunjukan dari struktur pemerintah di atasnya atau dari pihak keraton Yogyakarta.
Pada tahun 1957 dan 1958 terdapat sejumlah pemilihan perwakilan di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) dan Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi (DPRP) (Pemilu Asia, 2009). Namun saya tidak berhasil menemukan data hasil pemilihan perwakilan daerah tersebut untuk wilayah Kabupaten Sleman. Kemungkinan wilayah Sleman belum memiliki perwakilan daerah atau masih tergabung dengan pemerintah Jawa Tengah dan atau mungkin bentuk pemerintahannya masih mengikuti model pemerintahan dari Keraton Yogyakarta.
Pemilu 1971
Mulai dibentuk suatu lembaga penyelenggara pemilu bernama Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri untuk melaksanakan Pemilu 1971 yang kemudian membentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) di tingkat pusat, Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I) di tingkat provinsi, PPD Tingkat II di tingkat kabupaten. Di tingkat kecamatan dibentuk Panitia Pemungutan Suara (PPS) sedangkan di tingkat desa dan lurah dibentuk Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Untuk melaksanakan pemungutan suara dibentuk juga Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Selain itu untuk warga negara Indonesia yang berada di luar negeri, pemerintah membentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri (PPSLN) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) yang semuanya bersifat ad hoc. Pelaksanaan pemilu di masa ini relatif lebih rapi dalam hal struktur dibandingkan dengan pemilu pertama sebagai perbaikan dari pemilu sebelumnya.
Pada periode pemilu 1971 di DI Yogyakarta mendapatkan jatah 7 kursi di DPR dan hasil perolehan yang dicapai para kontestan adalah Golongan Karya (Golkar) mendapatkan empat kursi dan Partai NU, Parmusi serta PNI masing-masing mendapatkan satu kursi. Dalam penelusuran saya, belum ditemukan data perolehan di level DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Sleman

Pemilu 1977 sampai dengan pemilu 1997
Secara umum penyelenggara pemilu masih sama dengan pemilu 1971. Pemilu di masa ini sudah memiliki struktur yang cukup kuat diisi oleh birokrasi pemerintah yang berkuasa dan kekuatan militer (ABRI) yang dikaryakan di jabatan sipil strategis sehingga pemilu berlangsung nyaris secara rutin dan terlihat stabil. Namun bagi sebagian pihak rutinitas dan kestabilan ini lebih disebabkan oleh kemampuan pemerintah mengelola atau merekayasa penguasaan informasi serta kemampuan mengendalikan gejolak politik secara represif yang membuat publik tidak berdaya dalam menyampaikan aspirasi yang berbeda.

Pada Pemilu 1977 di Kabupaten Sleman saya belum berhasil menemukan data detail perolehan suara, namun pemilu di level DI Yogyakarta yang mendapat alokasi 6 kursi DPR, komposisi perolehan suara adalah Golkar mendapatkan 4 kursi dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang fusi dari partai-partai nasionalis dan partai non Islam serta Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari partai-partai Islam mendapatkan satu kursi. Secara persentase perolehan Golkar adalah 57%, PPP 23% dan PDI 20% (Pemilu Asia, 2009).

Pada Pemilu 1982 di Kabupaten Sleman, saya juga belum menemukan hasil perolehan di level Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Kabupaten Sleman dan Provinsi DI Yogyakarta, namun dalam Pemilu DPR di tingkat DI Yogyakarta yang memiliki alokasi 6 kursi, hasil perolehan kursi adalah Golkar mendapatkan 4 kursi, PPP dan PDI masing-masing mendapatkan 1 kursi. Sedangkan secara persentase hasil perolehan Golkar adalah 61%, PPP 23% dan PDI 16%. Hal ini menunjukkan penurunan perolehan PDI sebesar 4% dan sebaliknya Golkar mengalami peningkatan perolehan hasil sebanyak 4% (Pemilu Asia 2009).

Pemilu 1987, saya masih belum menemukan hasil pemilu khusus untuk daerah Sleman namun untuk pemilihan DPR di wilayah DI Yogyakarta menghasilkan Golkar mendapatkan 4 kursi, PPP dan PDI masing-masing mendapatkan satu kursi. Pada Pemilu kali ini, perolehan persentase suara Golkar meningkat menjadi 70%, PDI dan PPP masing-masing mendapatkan 15% suara (Pemilu Asia 2009). Hasil pemilu ini menunjukkan semakin kuatnya konsolidasi politik yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru melalui Golkar.

Pemilu 1992, 
Pemilu 1999
Sebagai hasil dari gerakan reformasi 1998 dalam pemilu kali ini terjadi perubahan yang cukup signifikan dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya yaitu penyelenggara pemilu mulai dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pengganti LPU. KPU dibentuk oleh presiden dan diisi oleh utusan partai berjumlah 48 orang ditambah utusan pemerintah sebanyak lima orang, KPU juga dibantu oleh Sekretariat Umum KPU. Struktur panitia pemilihan umum di bawahnya sama dengan pemilu 1977-1997 kecuali penyelenggara pemilu tingkat kecamatan yang berubah dari PPS menjadi penyelenggara pemilihan tingkat kecamatan (PPK). Susunan lengkap penyelenggaran pemilu 1999 adalah PPI, PPD I, PPD II, PPK, PPS dan KPPS namun komposisi anggotanya diisi oleh utusan partai, utusan pemerintah dan tokoh masyarakat. Komposisi yang berbeda tersebut menghasilkan pola komunikasi yang berbeda dibanding lembaga penyelenggara pemilu sebelumnya. Di masa ini pemilu dilaksanakan dengan semangat keterbukaan yang tinggi dan euforia demokrasi yang begitu kuat menghasilkan partisipasi masyarakat yang sangat tinggi yaitu sekitar 90%. 

Pemilu 2004
Pemilu 2004 dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu yang disebut dengan nama Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tingkat pusat, KPU provinsi di tingkat provinsi dan KPU kabupaten/kota di tingkat kabupaten/kota. Sedangkan struktur penyelenggara pemilu di bawahnya sama dengan pemilu sebelumnya yaitu PPK di tingkat kecamatan, PPS di tingkat desa/kelurahan dan KPPS di tingkat TPS. Di masa ini KPU baik di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten, secara sederhana dibagi menjadi dua bagian besar yaitu komisioner sebagai pimpinan dan pengambil keputusan serta sekretariat KPU yang merupakan struktur birokrat yang berfungsi mendukung kerja KPU secara administratif. Komisioner merupakan hasil seleksi terbuka oleh tim seleksi independen dengan masa jabatan lima tahun. Sebagian besar hasil seleksi tersebut menghasilkan komisioner KPU dari kalangan akademisi, lembaga swadaya masyarakat, pensiunan pegawai negeri sipil serta kalangan swasta. Perubahan dari KPU di pemilu 1999 sebelumnya yang terdiri dari perwakilan partai, utusan pemerintah dan tokoh masyarakat menjadi KPU yang non partisan menghasilkan dinamika yang cenderung lebih stabil, manajemen kepemiluan yang semakin membaik dengan independensi yang masih cukup terjaga.
Mulai tahun 2003 di masa persiapan Pemilu 2004 inilah penyelenggara pemilu di Kabupaten Sleman resmi bernama KPU Kabupaten Sleman yang dipimpin oleh lima komisioner yang dipimpin oleh ketua Abdul Haris dengan anggota terdiri dari Suhirman, Suryatiningsih Budi Lestari, Djajadi dan Hamdan Kurniawan. KPU Kabupaten Sleman ini didukung oleh satuan kerja (satker) eselon III Sekretariat KPU Kabupaten Sleman yang terdiri dari satu pejabat eselon III dan empat pejabat eselon IV serta staf yang diisi oleh personil PNS diperbantukan dari Pemerintah Kabupaten Sleman.
Selain itu di tahun 2005 dan berikut rangkaiannya, untuk pertama kalinya mulai diadakan pemilu kepala daerah (pemilukada) di berbagai daerah termasuk Kabupaten Sleman. Pemilukada ini juga dilaksanakan oleh KPU di daerah dengan struktur panitia pelaksana yang sama dengan pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden dan wakil presiden (PPWP/pilpres). Dasar peraturan yang digunakan dalam pemilukada ini adalah undang-undang tentang pemerintah daerah. Anggaran yang digunakan berasal dari pemerintah daerah setempat yang tata cara penggunaannya merujuk pada peraturan menteri dalam negeri. Penggunaan anggaran pemerintah daerah ini memiliki banyak keterbatasan dikarenakan kekuatan anggaran masing-masing daerah berbeda-beda dan cenderung lebih rendah dari anggaran pemerintah pusat.

Pemilu 2009
Merupakan pemilu pertama yang dilaksanakan oleh lembaga KPU yang telah bersifat nasional, tetap dan mandiri. Perubahan status KPU ini berdasarkan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Pemilu di tingkat nasional dilaksanakan oleh KPU, di provinsi dilaksanakan oleh KPU provinsi dan di kabupaten/kota di laksanakan oleh KPU kabupaten/kota. Sementara struktur di bawahnya seperti PPK, PPS dan KPPS masih bersifat adhoc. Keanggotaan KPU di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten merupakan hasil seleksi terbuka yang komposisinya mirip dengan anggota KPU pada pemilu 2004 yaitu dari kalangan akademisi, LSM, swasta, pensiunan PNS, PNS aktif dan juga dari penyelenggara pemilu periode sebelumnya.
KPU Kabupaten Sleman pada Pemilu 2009 dipimpin oleh lima komisioner yang merupakan hasil seleksi terbuka di tahun 2008, terdiri dari Djajadi sebagai ketua, Hazwan Iskandar Jaya, Hamdan Kurniawan, Suryatiningsih Budi Lestari dan Lukmanul Hakim sebagai anggota. Dalam Pemilu 2009 komisioner KPU Kabupaten Sleman tetap didukung oleh lembaga birokrasi setingkat eselon III yaitu Sekretariat KPU Kabupaten Sleman dengan komposisi staf yang sedikit berbeda karena Sekretariat Jenderal KPU sejak tahun 2009 mulai merekrut staf PNS secara langsung yang disebut juga sebagai PNS organik untuk ditempatkan di seluruh sekretariat KPU di daerah termasuk di Kabupaten Sleman.
Di periode ini, menurut sejumlah riset terkait dengan kinerja KPU, kondisi pemilu dan KPU secara umum semakin membaik ditandai dengan struktur dan posisi yang semakin jelas dalam tata negara dan tata pemerintahan. Setelah pemilu 2009, pada tahun 2010 dan seterusnya KPU juga melaksanakan rangkaian pemilukada langsung di berbagai daerah dengan struktur panitia yang sama dengan pileg dan pilpres. Seperti pemilukada tahun 2005, pemilukada 2010 dan rangkaiannya juga dilaksanakan dengan dasar peraturan undang-undang tentang pemerintahan daerah dan anggaran pelaksanaannya masih diambil dari anggaran pemerintah daerah setempat.

Pemilu 2014
Dalam hal penyelenggara, Pemilu 2014 relatif sama dengan Pemilu 2009, KPU sesuai tingkatannya menyelenggarakan pemilu dengan struktur di bawahnya berupa panitia adhoc yang sama seperti PPK, PPS dan KPPS. Proses seleksi pimpinan KPU juga masih sama yaitu melalui seleksi terbuka pansel independen yang menghasilkan komposisi pimpinan yang juga serupa yaitu dari akademisi, LSM, mantan penyelenggara pemilu di berbagai level, birokrat dan swasta.
Di masa ini KPU Kabupaten Sleman di pimpin oleh Ahmad Shidqi sebagai ketua dengan anggota terdiri dari Indah Sri Wulandari, Imanda Julianto, Haryanta dan Aswino Wardhana. Mereka merupakan hasil seleksi terbuka yang diadakan di tahun 2013 untuk masa bakti 2013-2018. Organisasi birokrasi pendukung masih berbentuk sekretariat eselon III namun dengan komposisi staf PNS organik yang semakin besar.
Selanjutnya di tahun 2015 dan rangkaiannya (yaitu Pilkada tahun 2017) juga dilaksanakan Pilkada serentak. Sedikit berbeda dengan pemilukada 2010 dan rangkaiannya yang dilaksanakan dengan jadwal yang berbeda-beda di masing-masing daerah, maka Pilkada 2015 dan 2017 ini dilaksanakan secara serentak yaitu pada 9 Desember 2015 dan 15 Februari 2017. Pilkada 2015 dilaksanakan oleh 9 provinsi dan 224 kabupaten serta 36 kota termasuk Kabupaten Sleman, Gunungkidul dan Bantul (www.hukumonline.com, 2015). Sedangkan Pilkada 2017 dilaksanakan oleh 7 provinsi dan 76 kabupaten serta 18 kota termasuk Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulonprogo (Tashandra, 2016). Pilkada serentak yang dilaksanakan secara bertahap ini merupakan proses awal penyatuan semua kegiatan pemilu yang diproyeksikan akan dilaksanakan secara serentak sepenuhnya di pemilu-pemilu yang akan datang. Dalam pilkada serentak ini struktur penyelenggara pemilu masih sama dengan pilkada sebelumnya dan sumber pendanaannya juga masih menggunakan anggaran pemerintah daerah melalui skema hibah kepada KPU setempat.

Pergeseran asas pemilu.
Selain dalam hal organisasional, perjalanan penyelenggara pemilu juga mengalami pergeseran dalam hal nilai dan filosofi atau asas pemilu sejak pemilu 1955 sampai dengan pemilu 2014. Perubahan kata-kata dalam asas tersebut terkesan sepele namun dalam praktiknya pelaksanaan pemilu dari masa Orde Lama kemudian Orde Baru dan di masa pasca reformasi memiliki perbedaan dan perubahan perilaku yang cukup signifikan terutama dalam hal akses informasi dan keterbukaan organisasi terhadap peran serta publik.

Pada pemilu 1955 asas yang dipakai adalah: jujur, umum, berkesamaan, rahasia, bebas dan langsung. Asas jujur dalam hal ini berarti pemilu diadakan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Asas  umum berarti semua warga negara yang telah memenuhi syarat dapat mengikuti pemilu. Asas berkesamaan berarti semua pemilih memiliki hak yang sama yaitu satu suara. Asas rahasia berarti pilihan pemilih merupakan rahasia pemilih dan dijamin tidak akan diketahui oleh pihak lain. Sedangkan asas bebas berarti bahwa pemilih bebas menentukan pilihan politiknya tanpa pengaruh, paksaan dari pihak lain dengan cara apapun. Dan yang terakhir yaitu asas langsung berarti bahwa pemilih menyalurkan pilihannya secara langsung tanpa perantara (Komisi Pemilihan Umum, 2010). Dengan asas-asas tersebut pemilu 1955 ini oleh banyak pihak dikatakan sebagai pemilu yang paling demokratis dan memiliki kualitas partisipasi yang baik (Kepustakaan Presiden, 2006).

Sedangkan pada pemilu 1971 sampai dengan pemilu 1997, asas yang dipakai berubah menjadi: langsung, umum, bebas, rahasia. Hal ini berarti kata asas jujur dan berkesamaan (adil) dihilangkan. Perubahan asas yang terkesan sepele ini yaitu hilangnya kata jujur dan berkesamaan menghasilkan sejarah pelaksanaan pemilu yang berbeda. Dibandingkan dengan pemilu 1955, pemilu di masa Orde Baru memiliki bentuk yang berbeda dari pemilu-pemilu demokratis lainnya. Bagi banyak pihak, pemilu pada masa ini dianggap tidak demokratis ditandai dengan peran pemerintah yang begitu besar di segala level penyelenggara pemilu, sebaliknya peran masyarakat atau publik sangat minim dan sekedar aksesoris semata (Kepustakaan Presiden, 2006). Hilangnya kata jujur dalam asas pemilu menghasilkan pemilu yang tidak jujur, penuh dengan rekayasa dan tidak terbuka bagi publik. Hilangnya kata berkesamaan atau adil dalam asas pemilu di masa ini juga menghasilkan pemilu yang tidak memperhatikan aspek keadilan. Pada pemilu 1997, penerapan asas pemilu tersebut mencapai puncaknya dan menghasilkan pemilu yang secara formal tampak sukses namun hanya dalam waktu satu tahun kemudian menjadi salah satu sebab datangnya bencana nasional yang sangat merugikan bangsa yaitu terjadinya kerusuhan politik dan suksesi pemerintahan yang tidak demokratis yang dikenal dengan kerusuhan Mei 1998 atau Reformasi 1998.
           
Sejak pemilu 1999 asas pemilu yang digunakan berubah kembali kepada asas pemilu 1955 dengan sedikit perubahan menjadi: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Perubahan asas ini menghasilkan praktek pelaksanaan pemilu yang berbeda dibanding periode sebelumnya. Pemilu tahun 1999 sampai sekarang cenderung terus meningkat kadar demokratisnya, walaupun tentu saja masih banyak terdapat masalah-masalah terutama terkait dengan teknis penyelenggaraan. Contoh permasalahan pada pemilu di masa ini yaitu kesalahan tata kelola keuangan pada kasus korupsi keuangan pemilu tahun 1999 yang membuat komisioner KPU pusat mendapatkan hukuman pidana. Selain itu masih terdapat berbagai kesalahan administratif terutama dalam hal tata kelola keuangan, kesalahan etis, kecurangan dan kekurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu di berbagai level pada pemilu 2004 sampai dengan pemilu 2014. Namun secara umum kesalahan-kesalahan tersebut tidak bersifat sistematis dan masif, sehingga pelaksanaan pemilu dianggap lebih demokratis, adil (fair) dan sesuai dengan aspirasi masyarakat (Arianto, 2011; Kalyanamitra, 2008).

Penulis: Rahmat Purwono

Sumber:
Arianto, B. (2011). Perbandingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif Era Reformasi di Indonesia. Jurnal FISIP UMRAH , 126-140.
Kalyanamitra. (2008). Kualitas Perempuan Politisi di Legislatif. Jakarta: Kalyanamitra.
Kepustakaan Presiden. (2006, Mei 17). http://kepustakaan-   presiden.perpusnas.go.id/election/directory/election/?box=detail&id=23&from_box=         list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status=. Dipetik Juli 3,   2015, dari perpusnas.go.id.
Komisi Pemilihan Umum. (2010, November). Modul 1: Pemilu Untuk Pemula. Jakarta,      Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia. Diambil kembali dari www.kpu.go.id.
Pemilu Asia. (2009).   http://www.pemilu.asia/index.php?lang=ind&c=54&opt=1&s=109&id=3. Dipetik             April 18, 2017, dari http://www.pemilu.asia:             http://www.pemilu.asia/index.php?lang=ind&c=54&opt=1&s=109&id=3
Pemilu Asia. (2009).   http://www.pemilu.asia/index.php?lang=ind&c=54&opt=1&s=82&id=3. Dipetik April 18, 2017, dari http://www.pemilu.asia:     http://www.pemilu.asia/index.php?lang=ind&c=54&opt=1&s=82&id=3
Prabawati, S. P. (2012). Partai Lokal dalam Pemilu 1955 (Gerinda dalam Pemilihan Umum         1955 di Yogyakarta). Solo: Jurusan Sejarah UNS Solo.
Tashandra, N. (2016, Februari 15).             http://nasional.kompas.com/read/2016/02/15/14034831/Ini.101.Daerah.yang.Akan.G         elar.Pilkada.2017?page=all. Dipetik Februari 16, 2017, dari kompas.com:             http://nasional.kompas.com/read/2016/02/15/14034831/Ini.101.Daerah.yang.Akan.Ge       lar.Pilkada.2017?page=all
Trisihono. (2011, November 21). http://trisihono.staff.uii.ac.id/2011/11/21/sejarah- kabupaten-kota-di-diy/. Dipetik April 18, 2017, dari http://trisihono.staff.uii.ac.id:     http://trisihono.staff.uii.ac.id/2011/11/21/sejarah-kabupaten-kota-di-diy/
www.hukumonline.com. (2015, April 13).     http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt552b941df0c5f/pelaksanaan-pilkada-           serentak-digelar-9-desember-2015. Dipetik Februari 16, 2017, dari www.hukumonline.com:             http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt552b941df0c5f/pelaksanaan-pilkada-   serentak-digelar-9-desember-2015